Rabu, 25 Juni 2014

Universitas Indonesia, Berhati-hatilah Menanam Pohon


Ribuan pohon sudah ditanam di Kampus Universitas Indonesia yang berlokasi di Depok. Banyak artikel dan headline berita digandengnya UI sebagai salah satu pihak peremajaan hutan. Baik yang merupakan hasil CSR kerja sama dengan Perusahaan, Bank, LSM ataupun program peremajaan hutan  yang dikelola oleh UI sendiri. Banyak pohon yang ditanam, termasuk Baobab raksasa yang asal Afrika. Namun tidak selalu penanaman ribuan benih pohon ini berdampak baik terhadap lingkungan. Salah satunya adalah pohon-pohon dengan kadar Volatile tinggi yang dapat menjadi pemicu ozon.

Ilmuwan sudah lama mengetahui bahwa pohon juga menghasilkan volatile organic compounds (VOCs). Saat ada matahari, VOCs bercampur dengan mono nitrogen oxides (NOx) yang di produksi oleh kendaraan bermotor dan menghasilkan senyawa yang sama dengan ozon. Akhir-akhir ini peneliti mencoba meganalisa bagaimana proses percampuran VOCs dan Nox ini terjadi di daerah kota urban. Depok, salah satunya Universitas Indonesia yang memiliki kawasan hijau binaan sebesar 120 ha dengan penanaman yang berkesinambungan mulai dari tahun 2012 membuat UI menjadi salah satu penampung pohon utama di daerah sekitar Jakarta.

Peneliti menemukan bahwa kadar VOC pada setiap pohon berbeda-beda. Emisi VOC diukur menggunakan rumus: micrograms per gram masa daun per jam. Tabel dibawah ini menunjukkan rata-rata emisi VOC yang dihasilkan oleh pohon-pohon yang biasa di tanam di perkotaan berdasarkan penelitian Galina Churkina (dibawah standar temperatur dan cahaya tertentu). Misalnya pada kota contoh, Pohon Black gum menghasilkan VOCs 15 kali lebih banyak daripada pohon birch. Karena reaksi VOCs ini memerlukan matahari untuk terjadi, maka kombinasi dari penanaman pohon penghasil kadar VOCs besar di kota yang memiliki paparan matahari cukup terik dan intensitas kendaraan yang padat akan menjadi kombinasi yang buruk dan menjadi penyumbang ozon yang potensial. Menurut Galina Churkina, dari Institute for Advanced Sustainability Studies di Postdam, Jerman, produksi ozon juga akan menjadi pemicu perubahan iklim, semakin hangat suatu kota maka semakin banyak pula pohon yang melepas VOCs.

Jadi apa yang bisa dilakukan Universitas Indonesia sebagai pemegang hutan kota saat ini? Setuju dengan pendapat Churkina, menebang atau mengurangi pohon yang sudah di tanam bukan strategi yang bijak, tapi setidaknya UI harus lebih berhati-hati terhadap apa yang akan ditanamnya dikemudian hari. Khususnya jika ditanam dalam jumlah banyak. Baik karena hasil CSR atau memang program yang dijalankan oleh PLK sendiri. PLK, DLH, GCUI, organisasi lingkungan atau siapapun yang memiliki kepentingan penanaman pohon di daerah kampus UI seharusnya memiliki standar VOCs setiap jenis pohon seperti yang dirangkum oleh University of California Agriculture and Natural Ressource, sehingga dapat meminimalisir penanaman pohon dengan kadar VOCs yang tinggi. Karena VOCs membutuhkan NOx untuk bereraksi menjadi ozon, UI juga sebaiknya menghindari menanam pohon dengan kadar VOCs tinggi sepanjang sisi jalan, dan tentu mengurangi penyumbang NOx (kendaraan) juga menjadi pilihan. Setidaknya mencegah dua zat ini bersatu agar tidak membentuk ozon yang dapat merusak lingkungan. Lain cerita jika peruntukan hutan UI hanya sebagai rahim produksi pohon baru yang kelak akan di tanam ulang di daerah yang memerlukan reboisasi.


Source:
www.scientificamerican.com

Gambar:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar