Ribuan pohon sudah ditanam di Kampus Universitas Indonesia yang berlokasi
di Depok. Banyak artikel dan headline berita digandengnya UI sebagai salah satu
pihak peremajaan hutan. Baik yang merupakan hasil CSR kerja sama dengan Perusahaan,
Bank, LSM ataupun program peremajaan hutan yang dikelola oleh UI sendiri. Banyak pohon
yang ditanam, termasuk Baobab raksasa yang asal Afrika. Namun tidak
selalu penanaman ribuan benih pohon ini berdampak baik terhadap lingkungan. Salah
satunya adalah pohon-pohon dengan kadar Volatile tinggi yang dapat menjadi
pemicu ozon.
Ilmuwan sudah lama mengetahui bahwa pohon juga menghasilkan volatile
organic compounds (VOCs). Saat ada matahari, VOCs bercampur dengan mono
nitrogen oxides (NOx) yang di produksi oleh kendaraan bermotor dan menghasilkan
senyawa yang sama dengan ozon. Akhir-akhir ini peneliti
mencoba meganalisa bagaimana proses percampuran VOCs dan Nox ini terjadi di daerah
kota urban. Depok, salah satunya Universitas Indonesia yang memiliki kawasan
hijau binaan sebesar 120 ha dengan penanaman
yang berkesinambungan mulai dari tahun 2012 membuat UI menjadi salah satu penampung
pohon utama di daerah sekitar Jakarta.
Peneliti menemukan bahwa kadar VOC pada setiap pohon berbeda-beda. Emisi
VOC diukur menggunakan rumus: micrograms per gram masa daun per jam. Tabel dibawah
ini menunjukkan rata-rata emisi VOC yang dihasilkan oleh pohon-pohon yang biasa
di tanam di perkotaan berdasarkan penelitian Galina Churkina (dibawah standar
temperatur dan cahaya tertentu). Misalnya pada kota contoh, Pohon Black gum
menghasilkan VOCs 15 kali lebih banyak daripada pohon birch. Karena reaksi VOCs
ini memerlukan matahari untuk terjadi, maka kombinasi dari penanaman pohon
penghasil kadar VOCs besar di kota yang memiliki paparan matahari cukup terik dan intensitas kendaraan yang padat akan
menjadi kombinasi yang buruk dan menjadi penyumbang ozon yang potensial. Menurut
Galina Churkina, dari Institute for Advanced Sustainability Studies di Postdam,
Jerman, produksi ozon juga akan menjadi pemicu perubahan iklim, semakin hangat
suatu kota maka semakin banyak pula pohon yang melepas VOCs.
Jadi apa yang bisa dilakukan Universitas Indonesia sebagai pemegang
hutan kota saat ini? Setuju dengan pendapat Churkina, menebang atau mengurangi pohon
yang sudah di tanam bukan strategi yang bijak, tapi setidaknya UI harus lebih
berhati-hati terhadap apa yang akan ditanamnya dikemudian hari. Khususnya jika
ditanam dalam jumlah banyak. Baik karena hasil CSR atau memang program yang
dijalankan oleh PLK sendiri. PLK, DLH, GCUI, organisasi lingkungan atau
siapapun yang memiliki kepentingan penanaman pohon di daerah kampus UI seharusnya
memiliki standar VOCs setiap jenis pohon seperti yang dirangkum oleh University of California Agriculture and Natural Ressource, sehingga dapat meminimalisir
penanaman pohon dengan kadar VOCs yang tinggi. Karena VOCs membutuhkan NOx untuk
bereraksi menjadi ozon, UI juga sebaiknya menghindari menanam pohon dengan
kadar VOCs tinggi sepanjang sisi jalan, dan tentu mengurangi penyumbang NOx
(kendaraan) juga menjadi pilihan. Setidaknya mencegah dua zat ini bersatu agar
tidak membentuk ozon yang dapat merusak lingkungan. Lain cerita jika peruntukan
hutan UI hanya sebagai rahim produksi pohon baru yang kelak akan di tanam ulang
di daerah yang memerlukan reboisasi.
Source:
www.scientificamerican.com
Gambar:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar