Kamis, 19 Juni 2014

Memperlebar Jalan Mengurangi Kemacetan? Jakarta, Pikir Lagi



Kemacetan di mana-mana sudah semakin parah, kepadatan lalu lintas di kota-kota besar pun sudah tidak dapat dibendung lagi oleh jalan dan infrastruktur yang ada. Termasuk juga Jakarta. Ibu kota Indonesia ini mengalami peningkatan terhadap kepemilikan kendaraan bermotor dan penurunan ruang gerak kendaraan di jalan. Menurut grafik yang didapat, peningkatan kepemilikan mulai naik secara signifikan mulai dari tahun 2009 hingga sekarang, padahal jumlah jalan dan infrastrukturnya pun meningkat di tahun yang sama. Pertanyaan besarnya adalah, apakah penambahan jalan dapat menyelesaikan masalah kemacetan Jakarta dewasa ini?

Dibangunnya jalan tol menuju Jakarta di kota-kota satelit, fly over di daerah rawan macet, apakah menyelesaikan masalah kemacetan? Saya lebih memilih untuk menjawab tidak. Karena penyebab kemacetan di Jakarta menurut saya adalah jalan itu sendiri.


Konsep ini disebut Induced demand, para ekonom mendefinisikan induced demand saat meningkatnya supply terhadap suatu demand (dalam hal ini jalan) membuat orang lebih menginginkan hal tersebut. Walaupun traffic engineers sudah memperhatikan fenomena ini dari tahun 1960-an baru beberapa tahun belakangan lah social scientists bisa mengumpulkan data bahwa fenomena ini kerap kali terjadi saat membangun jalan-jalan baru. Hal ini menjadi fenomena yang terus-menerus terjadi dan menjadi penyumbang terbesar terhadap masalah kemacetan itu sendiri. Mengakar dan berakar seperti di Jakarta, laju kecepatan mencapai 20km per jam saja saat traffic jam.

Adakah solusi yang lebih baik daripada menambahkan jalan-jalan atau fly over baru untuk menanggulangi kemacetan Jakarta? Sebelum membicarakan solusi, mari membahas masalahnya. Kenapa hal ini bisa terjadi?

Pada tahun 2009, dua ekonom – matthew Turner dari Universitas Toronto dan Gilles Duranton dari Universitas Pennsylvania – memutuskan untuk membuat sebuah perbandingan antara jumlah jalan baru dan jalan tol yang dibuat di berbagai kota di Amerika pada tahun 1980 sampai 2000 dibandingkan dengan total jarak tempuh dalam kota tersebut pada tahun yang sama. Mereka menemukan bahwa terjadi one-to-one-relationship.

Jika sebuah kota meningkatkan kapasitas jalan sebesar 10 persen diantara tahun 1980 sampai 1990, jumlah jarak tempuh yang ditempuh kendaraan di dalam kota tersebut pun bertambah sebesar 10 persen. Dan jika kota yang sama meningkatkan kapasitas jalan sebesar 11 persen diantara tahun 1990 sampai 2000, jumlah jarak tempuh yang ditempuh kendaraan di dalam kota tersebut pun bertambah sebesar 11 persen. Dua variabel ini bergerak secara bersamaan pada angka yang tepat sama.

Sekarang, jika ragu korelasi dua variabel tersebut tidak menjadi penyebab langsungnya, berikan satu penjelasan yang memungkinkan traffic engineers dengan blue print peta jalan tahun 1947 di Amerika dapat memprediksi dengan pasti jumlah demand terhadap jalan untuk bertahun –tahun kedepan pada rentang 1980-2000 secara tepat.

Argumen kedua dari Turner dan Duranton adalah the fundamental law of road congestion: jalan yang baru akan melahirkan pengemudi baru, mengakibatkan intensitas jalan yang sama saja.

Secara nalar, saya dapat menangkap persamaannya: memperlebar jalan sama dengan mengganti pipa kecil dengan pipa yang lebih besar dengan harapan air dapat mengalir lebih lancar. Tapi, alih-alih demikian, pipa yang besar menarik jumlah air yang lebih banyak pula dan air tetap mengalir pada kapasitas yang sama. Pertanyaan selanjutnya adalah, darimana pengemudi-pengemudi baru ini berasal?

Jawabannya berkaitan dengan apa yang biasa dilakukan orang dijalan: bergerak. Pada harfiahnya kita memiliki perilaku alami suka bergerak, jika itu dikaitkan dengan kemampuan orang untuk berkendara atau melakukan perjalanan, dengan adanya fasilitas jalan baru, orang akan memiliki lebih banyak alasan untuk tinggal jauh dari kantor dan melakukan perjalanan lebih jauh dari sebelumnya. Hal ini juga menjelaskan kenapa kota-kota satelit dipenuhi penduduk baru (akan saya bahas pada kesempatan selanjutnya).

Tinggal jauh dari tempat kerja memaksa orang untuk bergerak dan melakukan perjalanan menuju kota Jakarta dari kota satelit tempat tinggalnya. Memfasilitasi jalan baru lebih mudah dengan tol dan berbagai macam infrastruktur mengakibatkan orang orang memiliki ide yang sama untuk berkendara lebih jauh ke kantor dengan anggapan akses jalan lebih mudah. Dan setali tiga rantai, hal ini juga akan menarik bisnis juga proses pengangkutan barang dan logistik melalui jalan untunk memenuhi kebutuhan kota satelit. Mengikis kapasitas jalan yang sebelumnya sudah ditambahkan. Membuat kepadatan jalan tetap konstan. Selama mengemudi di jalan tetap mudah dan murah, oang akan memiliki hasrat yang tak terbatas untuk menggunakannya.

Mungkin ada yang sempat berpikir, membangun transportasi umum dapat menyelesaikan masalah kemacetan ini. Ternyata salah. Commuter Line diperbanyak, busway ditambah koridornya, itu menyebabkan beberapa pengemudi jalan beralih ke transportasi umum. Namun, pengemudi jalan yang beralih itu dengan segera digantikan oleh penemudi yang lainnya. Membuat jalanan Jakarta tetap sama macetnya.

Yang menarik adalah, efek dari jalan ini berlaku terbalik juga. Saat beberapa kota memutuskan untuk menghapuskan beberapa jalan, masyarakat mengamuk dan mengancam pemboikotan tapi data menunjukkan tidak ada hal buruk yang terjadi. Jumlah pengemudi di jalanan dengan cepat menyesuaikan dan abrakadabra, seolah tidak ada masalah. Jalanan tetap dengan porsinya. Beberapa pengedara menyesuaikan dengan menggunakan angkutan umum dan yang lain tetap pada tempatnya.

restorasi Cheonggyecheo
Cerita sukses paling besar mungkin dialami oleh Seoul, Korea Selatan. Saat kota tersebut memutuskan untuk menghancurkan satu jalan tol yang termasuk jalan vital yang membawa 168,000 mobil per hari di Cheonggyecheo. Setelah menghancurkan jalan tersebut dan mengganti mobil-mobil dengan riverway, parkland, dan jalan-jalan yang lebih kecil. Kemacetan tidak bertambah parah dan banyak hal yang membaik, termasuk polusi yang berkurang.

Namun, teori ini juga memiliki keterbatasan. Menghancurkan jalan tol sepuluh jalur dan menggantinya dengan satu jalur akan membuat kemacetan seminggu suntuk tidak berhenti. Mengganti jalan tol sepuluh jalur dengan seratus jalur kecil juga dapat menghilangkan kemacetan. Tapi, apa mungkin? Kita hanya dapat menggunakan teori ini dengan data yang telah di observasi terlebih dahulu. Akhirnya semua analisis tersebut tiba pada bagian solusi, bagaimana caranya mengurangi kemacetan tanpa menambah jalan baru di kota Jakarta?

  1. Dengan memaksa congestion pricing terhadap jalan. Jakarta sudah benar dengan menerapkan 3 in 1. Itu membuat nilai jalan di jam-jam tertentu lebih berharga daripada jam lainnya. Atau dapat juga dengan menaikkan tarif tol pada waktu-waktu rawan macet. Jam 4-7 malam tol naik 25% misalnya. Sehingga orang yang tidak dapat membayar atau merasa rugi untuk membayar lebih mahal di jam-jam tertentu akan memilih untuk pulang atau pergi di jam yang lebih murah, entah sebelum atau sesudah jam rawan tersebut. atau jika merasa waktunya berharga tapi tetap merasa rugi untuk membayar lebih mahal, alternatifnya adalah bepergian dengan kendaraan umum seperti busway atau commuter line. Simple bukan? Semua kembali berdasarkan kepentingan menggunakan jalan. Tidak semua memiliki kepentingan yang sama pentingnya saat melintasi jalan, memanage kepentingan tersebut dapat mengurai kemacetan lebih baik. congestion pricing ini sudah sukses di London, Stockholm, dan tetangga kita Singapore. Dan banyak kota yang mulai melirik congestion pricing ini sebagai solusi kemacetan. Kenapa tidak dengan Jakarta?

  1. Jika congestion pricing dinilai tidak masuk akal, hal yang lebih logis dan memungkinkan adalah menaikkan harga parkir. Duranton menyatakan bahwa 30 persen pengendara di jalan adalah orang yang berputar-putar untuk mencari parkir. Menaikkan harga parkir saat saktu-waktu penting memaksa orang untuk pergi lebih cepat, membuat sirkulasi parkir lebih dinamis. San francisco melakukan hal ini pada tahun 2011 dan hasilnya meningkatkan pendapatan toko dan mall karena lebih banyak customer yang keluar masuk dan parkir dengan durasi yang tidak lama membuat sirkulasi jalan tetap dinamis. Mengurangi 30 persen orang yang mencari parkir tersebut.

Sumber:
the over head wire

Gambar:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar