Kemacetan di mana-mana sudah semakin parah, kepadatan lalu lintas di
kota-kota besar pun sudah tidak dapat dibendung lagi oleh jalan dan
infrastruktur yang ada. Termasuk juga Jakarta. Ibu kota Indonesia ini mengalami
peningkatan terhadap kepemilikan kendaraan bermotor dan penurunan ruang gerak
kendaraan di jalan. Menurut grafik yang didapat, peningkatan kepemilikan mulai
naik secara signifikan mulai dari tahun 2009 hingga sekarang, padahal jumlah
jalan dan infrastrukturnya pun meningkat di tahun yang sama. Pertanyaan besarnya
adalah, apakah penambahan jalan dapat menyelesaikan masalah kemacetan Jakarta
dewasa ini?
Dibangunnya jalan tol menuju Jakarta di kota-kota satelit, fly over di
daerah rawan macet, apakah menyelesaikan masalah kemacetan? Saya lebih memilih
untuk menjawab tidak. Karena penyebab kemacetan di Jakarta menurut saya adalah
jalan itu sendiri.
Konsep ini disebut Induced demand, para ekonom mendefinisikan induced demand
saat meningkatnya supply terhadap suatu demand (dalam hal ini jalan) membuat
orang lebih menginginkan hal tersebut. Walaupun traffic engineers sudah
memperhatikan fenomena ini dari tahun 1960-an baru beberapa tahun belakangan
lah social scientists bisa mengumpulkan data bahwa fenomena ini kerap kali
terjadi saat membangun jalan-jalan baru. Hal ini menjadi fenomena yang terus-menerus
terjadi dan menjadi penyumbang terbesar terhadap masalah kemacetan itu sendiri.
Mengakar dan berakar seperti di Jakarta, laju kecepatan mencapai 20km per jam
saja saat traffic jam.
Adakah solusi yang lebih baik daripada menambahkan jalan-jalan atau fly
over baru untuk menanggulangi kemacetan Jakarta? Sebelum membicarakan solusi,
mari membahas masalahnya. Kenapa hal ini bisa terjadi?
Pada tahun 2009, dua ekonom – matthew Turner dari Universitas Toronto
dan Gilles Duranton dari Universitas Pennsylvania – memutuskan untuk membuat
sebuah perbandingan antara jumlah jalan baru dan jalan tol yang dibuat di
berbagai kota di Amerika pada tahun 1980 sampai 2000 dibandingkan dengan total
jarak tempuh dalam kota tersebut pada tahun yang sama. Mereka menemukan bahwa
terjadi one-to-one-relationship.
Jika sebuah kota meningkatkan kapasitas jalan sebesar 10 persen diantara
tahun 1980 sampai 1990, jumlah jarak tempuh yang ditempuh kendaraan di dalam
kota tersebut pun bertambah sebesar 10 persen. Dan jika kota yang sama
meningkatkan kapasitas jalan sebesar 11 persen diantara tahun 1990 sampai 2000,
jumlah jarak tempuh yang ditempuh kendaraan di dalam kota tersebut pun
bertambah sebesar 11 persen. Dua variabel ini bergerak secara bersamaan pada
angka yang tepat sama.
Sekarang, jika ragu korelasi dua variabel tersebut tidak menjadi
penyebab langsungnya, berikan satu penjelasan yang memungkinkan traffic
engineers dengan blue print peta jalan tahun 1947 di Amerika dapat memprediksi
dengan pasti jumlah demand terhadap jalan untuk bertahun –tahun kedepan pada
rentang 1980-2000 secara tepat.
Argumen kedua dari Turner dan Duranton adalah the fundamental law of
road congestion: jalan yang baru akan melahirkan pengemudi baru, mengakibatkan
intensitas jalan yang sama saja.
Secara nalar, saya dapat menangkap persamaannya: memperlebar jalan sama
dengan mengganti pipa kecil dengan pipa yang lebih besar dengan harapan air
dapat mengalir lebih lancar. Tapi, alih-alih demikian, pipa yang besar menarik
jumlah air yang lebih banyak pula dan air tetap mengalir pada kapasitas yang
sama. Pertanyaan selanjutnya adalah, darimana pengemudi-pengemudi baru ini
berasal?
Jawabannya berkaitan dengan apa yang biasa dilakukan orang dijalan:
bergerak. Pada harfiahnya kita memiliki perilaku alami suka bergerak, jika itu
dikaitkan dengan kemampuan orang untuk berkendara atau melakukan perjalanan, dengan
adanya fasilitas jalan baru, orang akan memiliki lebih banyak alasan untuk
tinggal jauh dari kantor dan melakukan perjalanan lebih jauh dari sebelumnya. Hal
ini juga menjelaskan kenapa kota-kota satelit dipenuhi penduduk baru (akan saya
bahas pada kesempatan selanjutnya).
Tinggal jauh dari tempat kerja memaksa orang untuk bergerak dan
melakukan perjalanan menuju kota Jakarta dari kota satelit tempat tinggalnya. Memfasilitasi
jalan baru lebih mudah dengan tol dan berbagai macam infrastruktur
mengakibatkan orang orang memiliki ide yang sama untuk berkendara lebih jauh ke
kantor dengan anggapan akses jalan lebih mudah. Dan setali tiga rantai, hal ini
juga akan menarik bisnis juga proses pengangkutan barang dan logistik melalui
jalan untunk memenuhi kebutuhan kota satelit. Mengikis kapasitas jalan yang
sebelumnya sudah ditambahkan. Membuat kepadatan jalan tetap konstan. Selama mengemudi
di jalan tetap mudah dan murah, oang akan memiliki hasrat yang tak terbatas
untuk menggunakannya.
Mungkin ada yang sempat berpikir, membangun transportasi umum dapat
menyelesaikan masalah kemacetan ini. Ternyata salah. Commuter Line diperbanyak,
busway ditambah koridornya, itu menyebabkan beberapa pengemudi jalan beralih ke
transportasi umum. Namun, pengemudi jalan yang beralih itu dengan segera
digantikan oleh penemudi yang lainnya. Membuat jalanan Jakarta tetap sama macetnya.
Yang menarik adalah, efek dari jalan ini berlaku terbalik juga. Saat beberapa
kota memutuskan untuk menghapuskan beberapa jalan, masyarakat mengamuk dan
mengancam pemboikotan tapi data menunjukkan tidak ada hal buruk yang terjadi. Jumlah
pengemudi di jalanan dengan cepat menyesuaikan dan abrakadabra, seolah tidak
ada masalah. Jalanan tetap dengan porsinya. Beberapa pengedara menyesuaikan
dengan menggunakan angkutan umum dan yang lain tetap pada tempatnya.
restorasi Cheonggyecheo |
Cerita sukses paling besar mungkin dialami oleh Seoul, Korea Selatan. Saat
kota tersebut memutuskan untuk menghancurkan satu jalan tol yang termasuk jalan
vital yang membawa 168,000 mobil per hari di Cheonggyecheo. Setelah menghancurkan jalan tersebut
dan mengganti mobil-mobil dengan riverway, parkland, dan jalan-jalan yang lebih
kecil. Kemacetan tidak bertambah parah dan banyak hal yang membaik, termasuk
polusi yang berkurang.
Namun, teori ini juga memiliki keterbatasan. Menghancurkan jalan tol
sepuluh jalur dan menggantinya dengan satu jalur akan membuat kemacetan
seminggu suntuk tidak berhenti. Mengganti jalan tol sepuluh jalur dengan
seratus jalur kecil juga dapat menghilangkan kemacetan. Tapi, apa mungkin? Kita
hanya dapat menggunakan teori ini dengan data yang telah di observasi terlebih
dahulu. Akhirnya semua analisis tersebut tiba pada bagian solusi, bagaimana
caranya mengurangi kemacetan tanpa menambah jalan baru di kota Jakarta?
- Dengan memaksa congestion pricing terhadap
jalan. Jakarta sudah benar dengan menerapkan 3 in 1. Itu membuat nilai
jalan di jam-jam tertentu lebih berharga daripada jam lainnya. Atau dapat
juga dengan menaikkan tarif tol pada waktu-waktu rawan macet. Jam 4-7
malam tol naik 25% misalnya. Sehingga orang yang tidak dapat membayar atau
merasa rugi untuk membayar lebih mahal di jam-jam tertentu akan memilih
untuk pulang atau pergi di jam yang lebih murah, entah sebelum atau
sesudah jam rawan tersebut. atau jika merasa waktunya berharga tapi tetap
merasa rugi untuk membayar lebih mahal, alternatifnya adalah bepergian dengan
kendaraan umum seperti busway atau commuter line. Simple bukan? Semua kembali
berdasarkan kepentingan menggunakan jalan. Tidak semua memiliki
kepentingan yang sama pentingnya saat melintasi jalan, memanage
kepentingan tersebut dapat mengurai kemacetan lebih baik. congestion
pricing ini sudah sukses di London, Stockholm, dan tetangga kita Singapore.
Dan banyak kota yang mulai melirik congestion pricing ini sebagai solusi
kemacetan. Kenapa tidak dengan Jakarta?
- Jika congestion pricing dinilai tidak
masuk akal, hal yang lebih logis dan memungkinkan adalah menaikkan harga
parkir. Duranton menyatakan bahwa 30 persen pengendara di jalan adalah
orang yang berputar-putar untuk mencari parkir. Menaikkan harga parkir saat
saktu-waktu penting memaksa orang untuk pergi lebih cepat, membuat
sirkulasi parkir lebih dinamis. San francisco melakukan hal ini pada tahun
2011 dan hasilnya meningkatkan pendapatan toko dan mall karena lebih
banyak customer yang keluar masuk dan parkir dengan durasi yang tidak lama
membuat sirkulasi jalan tetap dinamis. Mengurangi 30 persen orang yang
mencari parkir tersebut.
Sumber:
the over head wire
Gambar:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar