Senin, 30 Juni 2014

Kita Adalah Generasi Z


Dulu saat masih duduk di bangu SMA, saya pernah berdiskusi dengan seorang guru sosiologi yang menerangkan bahwa sekarang masyarakat dibagi menjadi dua: Generasi X dan Generasi Y. Generasi X adalah orang tua kita, yang masih berpikir secara konvensional tanpa bantuan teknologi, sedangkan Generasi Y adalah kita, generasi yang bertahan dan beradaptasi dengan teknologi berkembang. Implikasinya sendiri kerap kali saya dengar. Generasi X lebih loyal terhadap perusahaan tempatnya bekerja jika dibandingkan dengan Generasi Y seperti saya yang kutu loncat perusahaan. Atau generasi X yang lebih memilih bertanya saat tersesat dibandingkan dengan generasi Y yang memilih membuka ponsel atau bertanya pada kerabatnya melalui telepon. Sudah beberapa tahun diskusi itu berlalu.

Sedikit kaget ketika kemarin saya menemukan sebuah artikel menarik dari Business Insider yang menerangkan bahwa telah lahir generasi baru yang disebut generasi Z. Generasi ini memiliki perilaku yang berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya, marketer pun sekarang sudah mulai membidik target baru untuk produk-produknya. Target tersebut ditujukan kepada generasi Z yang sedang berkembang. Studi-studi yang dilakukan mencoba memetakan umur tepat dari generasi Z, pada akhirnya kebanyakan setuju bahwa generasi Z lahir setelah tahun 1990, yang membuat mereka menjadi mayoritas di masyarakat pada saat ini. Saya sendiri mendefinisikan generasi Z sebagai generasi yang sejak kecil telah bersentuhan dengan teknologi dan teknologi adalah sarana utama komunikasinya. karena merasa saya yang lahir pada tahun 1990 lebih terpengaruh dan berperilaku layaknya generasi Y, sebenarnya banyak generasi Y yang lahir antara 1990-1994 berperilaku seperti generasi Z saat ini, sehingga saya lebih senang tidak melihat kategori generasi ini berdasarkan umur secara fisik, namun lebih kepada perilaku yang ditunjukkan oleh individu tersebut.

Lebih lengkapnya, study dari business insider menemukan siapa sebenarnya generasi Z dan apa yang mereka makan serta beli. Inilah hasil yang mereka temukan:

Generasi Z ingin merubah dunia. 60% dari mereka ingin menjadi bagian dari sejarah dunia, dibandingkan dengan generasi Y (milenian) sebesar 39%, menurut study oleh Sparks & Honey, marketing agensi yang berkedudukan di New York. Satu di antara empat generasi Z ikut aktif dalam kegiatan seperti menjadi volunteer, atau tergabung dalam komunitas di masyarakat.

Sekolah tinggi tidak begitu penting untuk Generasi Z. Hanya 64% dari Generasi Z yang berniat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, dibandingkan dengan Generasi Y sebesar 71%. 

Generasi Z lebih memilih menjadi pengusaha dibandingkan dengan Generasi Y. 72%  pelajar SMA bercita-cita membuat perusahaan sendiri suatu saat nanti dan 61% lebih memilih menjadi entrepreneur daripada pekerja saat telah lulus kuliah, hal ini ditemukan lewat study dari Millennial Branding, Konsultan, dan data dari situs Internships.com.


Generasi Z mayoritas selalu terhubung secara digital. Generasi Z melalukan multitasking menggunakan kurang lebih lima layar secara bergantian setiap hari dan menghabiskan 41% waktunya diluar kelas dengan komputer atau smart phone, dibandingkan dengan 10 tahun lalu yang hanya mencapai 22% saja, menurut laporan dari Sparks & Honey. “Generasi Z menderita FOMO (fear of missing out) lebih banyak dari Generasi Y, jadi terhubung dengan informasi adalah suatu habbit yang kritis untuk dipenuhi oleh Generasi Z”

Sayangnya Generasi Z lebih suka bekerja secara independen. ”Generasi ini sangat individualis,” ucap Dan Schawbel, founder dari Millennial Branding. “jika Generasi Y mencari mentor untuk belajar sesuatu, Generasi Z lebih dapat mandiri dan menolong dirinya sendiri.”

Generasi Z lebih kritis dan khawatir tentang ekonomi melebihi bidang yang lain, termasuk tindakan kriminal, politik, atau keamanan kerja keluarganya.
Lebih jelas pada tabel dibawah ini: 



Sparks & Honey

Menurut study NPD Group, Generasi Z lebih menyukai makanan yang dimasak di rumah dan di olah sendiri, contohnya makanan siap saji seperti cereal. Generasi Z tidak begitu suka menggunakan microwaves dan lebih memilik menggunakan kompor atau oven untuk menyiapkan makanan. Salad dan sayur meningkat pesat di kalangan Generasi Z pada lima tahun terakhir, diikuti sandwich dan sarapan yang membutuhkan proses memasak seperti telur dan pancake.

Generasi Z menghabiskan uangnya paling banyak untuk makanan dan minuman daripada hal yang lain, dan tempat kesukaannya adalah Starbucks, hal ini dikemukakan oleh Piper Jaffray pada  most recent semiannual survey of teens. Sedangkan brand pakaian paling populer adalah Nike, diikuti oleh Forever 21, brand-brand olahraga seperti roxy, ripcurl, dll, American Eagle, dan Polo Ralph Lauren.



Generasi Z kurang akrif. Menurut Sparks & Honey report, 66% anak berumur 6-11 berpendapat online gaming adalah sumber hiburan utama. Di catatan lain, kegemukan di kalangan remaja bertambah tiga kali lipat dari tahun 1971 ke tahun 2010.

Generasi Z tidak memiliki brand loyalty terhadap suatu produk. Menurut  Martin-Wilbourne Partners, Generasi Z lebih perduli pada jenis produknya daripada brand yang memproduksinya, dan pola konsumsi ini mengakibatkan generasi Z mudah berpindah brand untuk mencari kulaitas produk yang lebih baik.

Generasi Z lebih dekat dengan keluarga. Menurut Schawbel, “Orang tua mereka memiliki banyak control terhadap keputusan yang mereka buat,”. “Influence yang dibuat sangat besar dan menjadi penentu hampir pada setiap aspek kehidupan generasi Z.” Banyak dari mereka yang hidup dalam multi-generasial bersama keluarga yang lahir pada generasi Baby Boomers, Generasi X juga Generasi Y.

Generasi Z berkomunikasi dengan cepat. Terkadang lebih banyak menggunakan emoticons dan emojis dari pada kata-kata.“Generasi Z terbiasa bercanda dan menjadi komentator yang impulsif di dunia maya,” Sparks & Honey menyebutkan: “sebagai hasilnya, Generasi Z bukan communicator yang efektif dan meninggalkan banyak celah untuk interpretasi, juga lebih sering mengakibatkan miss komunikasi.”

Lebih lanjut, menurut  Sparks & Honey dibawah ini adalah cara-cara yang efektif untuk berkomunikasi dengan Generasi Z.



Jadi, dengan hadirnya generasi Z yang baru dan telah terdefinisi, dan generasi ini yang kelak akan mengambil alih peran yang dilakukan oleh generasi X dan generasi Y saat ini, penting untuk mengerti bagaimana generasi Z berperilaku dan bagaimana berkomunikasi secara efektif dengan mereka. Hal ini berguna baik untuk komunikasi pemasaran barang dan jasa atupun untuk keperluan komunikasi lain. Sebagai generasi Y yang hidup di era generasi Z saya sendiri melakukan banyak adaptasi. Seperti mengerti perilaku komunikasi online mereka, habbitual keseharian mereka. Karena kelak ada saatnya generasi X dan generasi Y akan digantikan. Benarkan? Di read dong Linenya plis, dimention ngga bales, kuota internet dikit lagi nih.





Sumber:

Jumat, 27 Juni 2014

Gedung Pencakar Langit Jakarta Aman?


Jakarta, kota yang tidak pernah tidur, pekerja dan pelajar beraktifitas beriringan. Setiap hari ribuan orang tinggal dan bekerja di daerah metropolitan kota ini. Semakin lama banyak gedung pencakar langit yang dibangun, baik itu apartment ataupun ruang perkantoran dengan pemandangan yang luar biasa indah. Pantai Indah Kapuk, Kelapa Gading, podomoro land, dan banyak contoh gedung-gedung tinggi ditawarkan dengan kelebihan konsep masing-masing. Belum lagi proyek yang berusaha memecahkan rekor gedung tertinggi di kota Jakarta oleh beberapa pihak (baca disini). Namun, apakah gedung tinggi yang ditempati itu aman? Apakah tidak melebihi batas tinggi dan lebar yang diperbolehkan? Apakah pemandangan apartment yang indah itu dibayar dengan harga yang sebanding dengan keamanan konstruksi gedungnya? Batas tinggi dan lebar sekarang selain menjadi urusan insinyur tapi juga menjadi urusan marketer. Untuk menampung lebih banyak orang secara efektif dalam satu gedung dan menjual unit-unit dengan pemandangan indah lebih mahal dari unit yang lain sehingga meningkatkan profits perusahaan properti. Yang menjadi penekanan adalah seberapa jujur dan mengerti marketer anda berbicara soal apartment atau ruang perkantoran yang dijualnya.

Pertanyaannya, Amankah gedung pencakar langit dan apertment di Jakarta?

Gedung pencakar langit mempunyai batasan konstruksi, kadang untuk memperindah design arstekturnya banyak gedung yang menyentuh batas tall-to-thin aspect ratio for a structure dengan membuat design gedung tinggi dan tipis untuk alasan yang tidak pernah anda pikirkan. Gedung pencakar langit memiliki banyak Istilah dan standar, salah satu diantaranya adalah "Supertall" yang ada pada list kategori gedung yang dirangkum oleh Council on Tall Buildings and Urban Habitat , yaitu gedung dengan ukuran lebar 984 feet dan tinggi 1,968 feet. (gedung atau menara yang lebih tinggi dari itu disebut, "megatall," dan tidak diperbolehkan di beberapa negara.)

Tabrakan antara kepentingan design dan konstruksi sering terjadi, sebagai contoh, untuk mendapatkan gedung dengan pemandangan tertentu, gedung harus memotong beberapa fondasi pentingnya. Atau untuk dapat membuat lebih banyak ruang di apartment design bangunan harus berupa kotak berbentuk U untuk memperkokoh rangka bangun apartment tersebut tapi mengabaikan sirkulasi angin. Atau untuk memberdayagunakan lahan yang sempit, apartmen dibentuk seperti lembaran-lembaran karton yang tinggi dan dicangkok pada mall. Bagaimana jika beberapa design gedung tersebut tidak seluruhnya mengikuti aturan konstruksi.


Design seharusnya dilengkapi dengan gaps dalam gedung yang memungkinkan angin lewat, mengurangi beban angin pada keseluruhan gedung. Juga diperlukannya mass damper, benda berat yang berfungsi sebagai inertial counterweight. Design mass damper ini juga menjadi penyeimbang gedung dan menjaganya dari gempa bumi dan memastikan orang didalamnya merasa nyaman saat gedung diterpa angin besar. Mass dumper dapat beruba benda berat, air, sistem mekanisme hybrid atau bahkan bandul raksasa yang diletakkan di puncak atas gedung. Design dan teknologi seperti ini sudah merubah banyak gedung pencakar langit di seluruh dunia selama beberapa dekade terakhir. Kesulitan konstruksi dan design bertambah saat gedung pencakar langit yang dibangun semakin ramping, floorplates menjadi semakin kecil tapi pemandangannya bisa menjadi sangat indah.




Jadi, aman tidaknya gedung-gedung di Jakarta ditentukan dari beberapa fitur design tersebut. Jika berencana pindah ke apartment atau menyewa ruang kantor untuk perusahaan, ada baiknya bertanya seteliti mungkin kepada developer dan marketer yang anda temui, bagaimana sistem gedungnya, dan fitur apa saja yang ditawarkan oleh gedung tersebut. Apakah kemanannya terjamin, rangka bangunnya memenuhi standar, sistem mass dampingnya seperti apa. Jangan hanya terbuai oleh pemandangan, lokasi dan akses jalan dari kemacetan yang ditawarkan ilkan atau marketer di mall-mall.






Sumber:

Kamis, 26 Juni 2014

Sharing itu Mata Uang Baru



Saya tidak memerlukan bor baru, saya hanya memerlukan lubang di tembok. bagaimana jika saya beli bor bekas yang ada di rumahmu saja, lalu nanti akan saya jual kembali pada orang lain yang juga memerlukan lubang di tembok. Saya menghemat uang dan anda mendapatkan keuntungan. Contoh itu adalah jenis sharing yang paling sederhana dan ternyata dapat menguntungkan. Jadi, apa sharing bisa jadi mata uang yang baru? tidak sepenuhnya benar, tapi itulah yang menjadi konsep dasar dari collaborative economy.

Collaborative economy sekarang menjadi istilah ekonomi yang sedang banyak dibahas. Sayangnya di meja kuliah saya, saya belum pernah mendengar soal ini. Padahal di era dengan kekuatan komunitas seperti sekarang pengetahuan collaborative economy untuk mahasiswa ekonomi mutlak diperlukan. Collaborative economy adalah trend yang merubah cara orang berinteraksi dengan yang lain dalam melakukan komunikasi ataupun transaksi bisnis, dan bisnis model ini juga dianggap lebih sustainable daripada bisnis model traditional. Adalah Jeremiah Owyang, the Chief Catalyst and Founder of Crowd Companies, yang berfokus pada bagaimana perusahaan besar dapat mengambil keuntungan dari collaborative economy. Dia menulis bagaimana teknologi dan internet—seperti social media dan interactive marketing—berpengaruh pada hubungan perusahaan dengan customernya. Blognya “Web Strategy” , menyita banyak perhatian, dan Jeremiah sering dikutip dalam journal-journal seperti The Wall Street Journal, The New York Times, dan USA Today.

Collaborative Economy memungkinkan orang untuk mendapatkan apa yang diperlukan dengan lebih efisien yang dilandasi sharing dan berbasis kepada komunitas, kekuatan Internet, dan Sosial media. Seiring dengan perkembangan internet di seluruh dunia, kita mengalami pergeseran sistem ekonomi dari abad ke 20 menuju ke abad 21 dimana pemasaran perannya sama dengan sharing di komunitas. Collaborative economy sebenarnya sudah mulai merambah masuk ke Indonesia dengan berbagai macam kemasan.  Di indonesia sendiri dilihat dari taxonomy collaborative economy kategori yang paling banyak ditemukan adalah pre owned goods, custom products, dan transportation service. Berikut beberapa contoh yang saya temukan di Indonesia:

  1. Pre owned goods
Satu-satunya kategori yang dapat mengakomodir neo-share dan re-share. Seperti bukalapak.com, olx.co.id, berniaga.com, elevenia.com, lazada.co.id. media-media ini banyak digunakan oleh customer untuk menjual dan membeli barang. Selain menjual barang-barang baru, media diatas juga memungkinkan customer menjual dan membeli barang bekas yang layak pakai, atau dalam collaborative economy disebut re-share.

  1. Custom Products
Pernah membeli sepatu custom di instagram? Atau baju-baju yang gambarnya di tag di facebook? Atau invite dari Olshop? Itu adalah salah satu contoh digunakannya collaborative economy dalam menjual produk-produk custom. Metode collaborative economy tersebut lebih baik dalam menjangkau pelanggan karena pelanggan dapat mencari produk yang mereka inginkan berdasarkan minat, kategori pasar dan daya belinya masing-masing.

  1. Transportation Service
Selain produk, bisnis jasa pun banyak yang mengadopsi keuntungan-keuntungan dari collaborative economy. Seperti @BDGtaxibike yang menawarkan jasa transportasi. Atau kisah paling sukses datang dari @nebengers yang berhasil mengembangkan transportasi berbasis komunitas dengan medium twitter. Nebengers menjadi perangkum atau medium untuk individu yang mencari moda transportasi dengan cara menerbitkan sebuah twit. Twit tersebut dishare oleh nebengers atau dapat dicari menggunakan hashtag, dan jika ada individu lain yang hendak bepergian ke tempat yang sama serta memiliki kursi kosong di kendaraannya, mereka dapat berkomunikasi dan saling berbagi untuk menuju tempat yang sama.  Selain menyelesaikan masalah trasnportasi, metode yang dikembangkan nebengers juga menjadi sarana berkembangnya komunitas. Collaborative economy juga melahirkan banyak pilihan untuk bepergian, seperti jalbers atau EO-EO kecil yang menawarkan paket perjalanan bersama, ide utamanya hampir mirip dengan @nebengers yaitu sharing kendaraan menuju lokasi tertentu atau tujuan tertentu.


Komunitas berperan penting terhadap lahirnya collaborative economy. Karena, komunitas adalah kristalisasi customer dengan minat pasar dan minat pembelian yang diperlukan oleh perusahaan untuk membuat suatu produk. Customer baik secara individu atau sebagai komunitas pada era collaborative economy dapat menjadi penyumbang ide, produk, bahkan saluran distribusi pada suatu perusahaan. Diagram dibawah ini menunjukkan bagaimana customer terlibat dalam era collaborative economy.



Collaborative economy berpengaruh banyak pada hampir semua lini perdagangan dewasa ini, honeycomb berikut merangkum enam point besar dalam collaborative economy yaitu: Uang, Ruang, Barang, Makanan, Service, dan Transportasi. Lengkap dengan sub kelasnya dan contoh perusahaan yang sudah mengakomodir kebutuhan tersebut.



Ada tiga key market forces yang harus diperhatikan dalam menjaga keberlangsungan collaborative economy, pertama adalah Societal Driver yang dipengaruhi oleh meningkatnya populasi penduduk yang menggunakan internet dan memiliki hasrat untuk terhubung dengan yang lain sebagai sarana menjaga keberlangsungan bisnis dan transaksi ekonomi. Economic Driver yang menjadi faktor penggerak ressource dan bisnis. Technology Enabler yang berkaitan dengan penggunaan internet, social media dan teknologi portable untuk menunjang kebutuhan collaborative economic. Sedangkan dari sisi perusahaan, collaborative economy mengembangkan value chain yang dapat di adopsi perusahaan, bagaimana perusahaan berperan sebagai Jasa bagaimana perusahaan memotivasi workplace dan bagaimana collaborative economy menyediakan platform bagi berkembangnya produk baru.

Kesimpulannya, dalam masyarakat dewasa ini, dimana informasi sangat mudah didapat, penjualan terhadap suatu produk atau jasa harus mengikuti perkembangan yang ada. Collaborative economy adalah salah satu contoh perkembangan informasi dan penggunaannya terhadap penjualan. Collaborative economy menunjukkan bagaimana customer mengakses informasi melalui channel komunitas atau channel lain untuk mendapatkan kebutuhannya.

Perkembangan internet dan social media yang semakin kaya juga mengakibatkan demand terhadap produk semakin beragam. Perusahaan sebagai penyedia produk harus peka akan perubahan ini. Perusahaan dapat membangun komunitas dan melibatkan konsumen dalam proses pembuatan produk, penjualan, bahkan distribusi yang dapat menguntungkan dalam dua hal. Pertama: perusahaan dapat mengurangi biaya Research and Design untuk membuat suatu produk yang diinginkan oleh customer. Kedua, perusahaan tidak memerlukan biaya iklan yang terlalu besar karena perannya telah digantikan oleh komunitas. Karena kedua hal tersebut dapat di "out source" kepada customer dan komunitas yang terbentuk dari perusahaan itu sendiri.

Lalu sebagai pengusaha yang baru dan ingin mengadopsi collaborative economy ini, bidang apa saja yang dapat digeluti? menurut Rachel Botsman hampir semua bidang di Redistribusi, Asset dan Service, dan Collaborative Livestyle dapat dijalankan dengan collaborative economy.






Dirangkum dari berbagai sumber.


Next time mari membahas collaborative economy lebih mendalam, berikut dengan contoh dan implikasinya pada perusahaan.

Rabu, 25 Juni 2014

Universitas Indonesia, Berhati-hatilah Menanam Pohon


Ribuan pohon sudah ditanam di Kampus Universitas Indonesia yang berlokasi di Depok. Banyak artikel dan headline berita digandengnya UI sebagai salah satu pihak peremajaan hutan. Baik yang merupakan hasil CSR kerja sama dengan Perusahaan, Bank, LSM ataupun program peremajaan hutan  yang dikelola oleh UI sendiri. Banyak pohon yang ditanam, termasuk Baobab raksasa yang asal Afrika. Namun tidak selalu penanaman ribuan benih pohon ini berdampak baik terhadap lingkungan. Salah satunya adalah pohon-pohon dengan kadar Volatile tinggi yang dapat menjadi pemicu ozon.

Ilmuwan sudah lama mengetahui bahwa pohon juga menghasilkan volatile organic compounds (VOCs). Saat ada matahari, VOCs bercampur dengan mono nitrogen oxides (NOx) yang di produksi oleh kendaraan bermotor dan menghasilkan senyawa yang sama dengan ozon. Akhir-akhir ini peneliti mencoba meganalisa bagaimana proses percampuran VOCs dan Nox ini terjadi di daerah kota urban. Depok, salah satunya Universitas Indonesia yang memiliki kawasan hijau binaan sebesar 120 ha dengan penanaman yang berkesinambungan mulai dari tahun 2012 membuat UI menjadi salah satu penampung pohon utama di daerah sekitar Jakarta.

Peneliti menemukan bahwa kadar VOC pada setiap pohon berbeda-beda. Emisi VOC diukur menggunakan rumus: micrograms per gram masa daun per jam. Tabel dibawah ini menunjukkan rata-rata emisi VOC yang dihasilkan oleh pohon-pohon yang biasa di tanam di perkotaan berdasarkan penelitian Galina Churkina (dibawah standar temperatur dan cahaya tertentu). Misalnya pada kota contoh, Pohon Black gum menghasilkan VOCs 15 kali lebih banyak daripada pohon birch. Karena reaksi VOCs ini memerlukan matahari untuk terjadi, maka kombinasi dari penanaman pohon penghasil kadar VOCs besar di kota yang memiliki paparan matahari cukup terik dan intensitas kendaraan yang padat akan menjadi kombinasi yang buruk dan menjadi penyumbang ozon yang potensial. Menurut Galina Churkina, dari Institute for Advanced Sustainability Studies di Postdam, Jerman, produksi ozon juga akan menjadi pemicu perubahan iklim, semakin hangat suatu kota maka semakin banyak pula pohon yang melepas VOCs.

Jadi apa yang bisa dilakukan Universitas Indonesia sebagai pemegang hutan kota saat ini? Setuju dengan pendapat Churkina, menebang atau mengurangi pohon yang sudah di tanam bukan strategi yang bijak, tapi setidaknya UI harus lebih berhati-hati terhadap apa yang akan ditanamnya dikemudian hari. Khususnya jika ditanam dalam jumlah banyak. Baik karena hasil CSR atau memang program yang dijalankan oleh PLK sendiri. PLK, DLH, GCUI, organisasi lingkungan atau siapapun yang memiliki kepentingan penanaman pohon di daerah kampus UI seharusnya memiliki standar VOCs setiap jenis pohon seperti yang dirangkum oleh University of California Agriculture and Natural Ressource, sehingga dapat meminimalisir penanaman pohon dengan kadar VOCs yang tinggi. Karena VOCs membutuhkan NOx untuk bereraksi menjadi ozon, UI juga sebaiknya menghindari menanam pohon dengan kadar VOCs tinggi sepanjang sisi jalan, dan tentu mengurangi penyumbang NOx (kendaraan) juga menjadi pilihan. Setidaknya mencegah dua zat ini bersatu agar tidak membentuk ozon yang dapat merusak lingkungan. Lain cerita jika peruntukan hutan UI hanya sebagai rahim produksi pohon baru yang kelak akan di tanam ulang di daerah yang memerlukan reboisasi.


Source:
www.scientificamerican.com

Gambar:

Selasa, 24 Juni 2014

The Science of Loneliness


B: “Sendiri itu menyenangkan ya, tapi perlu berinteraksi juga untuk menjaga kewarasan”

A: “Tapi, sendiri itu memang menyenangkan”

B: “yup, Bukan hanya soal hubungan. Tapi secara harfiah sendiri itu menentramkan, menghanyutkan. Memabukkan dan parahnya adiktif”

B: “Membiarkan diri kita seperti ngarai dengan sumbatan pada arusnya. Kesendirian meluluhkan sumbatannya. Menjernihkan”

A: “Ngga begitu setuju sih”


Tanggapan tidak setuju itu akhirnya membawa saya pada pencarian. Untuk membuktikan bahwa kesepian memang mempunyai dampak positif. Membantah ilmu psikologi lama yang sering memvonis bahwa kesendirian seringkali berdampak buruk, menjadi pemicu atau penyebab social anxiety, boredom, alienation atau apapaun itu bentuknya.

Kita mendengarnya hampir setiap hari, bahwa manusia adalah mahluk sosial. Kita harus meluangkan waktu untuk berinteraksi dengan sesama untuk dapat bahagia dan lebih baik. Menikmati waktu sendiri dalam kontrasnya juga ternyata memiliki dampak positif jika dilakukan dengan cara yang benar. Beberapa penelitian baru menyarankan kita untuk menyisihkan waktu untuk sendiri. Bahkan untuk membangun kepribadian, berpikir kreatif dan fokus membutuhkan waktu sendiri tanpa gangguan. Bahkan ada riset yang menyarankan untuk memangkas waktu dan meluangkan kesendirian untuk dapat menjadi manusia sosial yang lebih baik.

Study di harvard percaya bahwa orang yang mengalami atau belajar sesuatu sendirian membentuk ingatan yang lebih kuat dan akurat. selain itu, kesendirian membuat orang lebih mampu berempati kepada yang lain. Saat semua orang setuju terlalu banyak kesendirian pada awal tahun hidup bisa tidak sehat, kesendirian dengan jumlah yang tepat justru dapat membantu anak memperbaiki mood dan mendapat nilai lebih baik di sekolah.

“terlalu banyak cultural anxiety tentang isolasi (kesendirian) di negara kita yang seringkali membuat kita gagal mengapresiasi keuntungan dari menyendiri” ucap Eric Klinberg, Sosiolog di New York University yang membuat buku “alone in America”. Dia juga berpendapat bahwa “ada sesuatu tentang kesendirian yang membebaskan orang melakukan apa yang dia inginkan. Mereka dapat membuat sebuah kontrol terhadap bagaimana mereka meluangkan waktunya dan merasakan kebebasan”

Mengetahui apa itu menyendiri dan bagaimana menyendiri mempengaruhi afeksi kita dan perasaan kita kini menjadi krusial. Masyarakat kini terhubung secara permanen siang dan malam melalui handphone dan komputer. Di jaman yang bahkan orang tidak lebih jauh dari pandangan mata pada sms, whatsapp, line, bbm, twitter, facebook, telegram messenger, skype, we chat, kakao talk, apa lagi yang belum saya sebut? Itu membuat kesendirian dan kebersamaan menjadi bias. Padahal keuntungan menyendiri sudah semakin jelas. Kesendirian sudah lama dihubungkan dengan kreatifitas, spiritual dan intelektual. Penyair James Russell Lowell mengidentifikasinya sebagai “needful to the imagination;” di tahun 1988 pada buku “Solitude: A Return to the self,” psikiater inggris Anthony Storr bahkan melibatkan Beethoven, Kafta, dan Newton sebagai contoh penyendiri yang jenius.

Tapi apa yang sebenarnya terjadi dalam pikiran kita saat sendiri? Semakin banyak pemahaman mengenai kesendirian. Namun pemahaman bagaimana “menyendiri” itu bekerja sejujurnya masih abstrak. Dan psikologi modern—dimana kita berharap dapat memberi jawaban—justru menganggap kesendirian sebagai sebuah masalah daripada solusi. Anggapan psikologi modern itu ditemukan oleh Christopher long pada tahun 1999. Pengukuran melalui survey tahun 2003 pada 320 mahasiswa Umass (University of Massachusetts) membawa Long dan timnya pada pemahaman bahwa mahasiswa yang lebih sering menyendiri membawa lebih banyak dampak baik dari pada dampak yang buruk. Dan pendekatan psikologi konvensional terhadap kesendirian—an “almost exclusive emphasis on loneliness”—merepresentasikan pandangan sempit mengenai kesendirian tersebut. “menyendiri tidak selalu buruk” ujar Long. “ada beberapa penelitian pada solitary confinement dan sensory deprivation dan astronot dan orang-orang di Antartika—dan yang ingin kami bilang adalah, lihat, ini bukan hanya soal kesendirian!”

Sekarang, banyak researchers yang berusaha menjelaskan Gap ini. Profesor Harvard Daniel Gilbert, leader of the world positive psychology baru-baru ini melihat dan tertarik pada study yang meyakini bahwa memory terbentuk lebih efektif saat orang berpikir mereka mengalami sesuatu secara individual. Study ini dipimpin oleh Bethany Burum, dan dimulai dengan eksperimen sederhana: Burum menempatkan dua partisipan dalam ruangan dan membiarkan mereka saling mengenal untuk beberapa menit. Mereka lalu duduk saling bertolak punggung, masing-masing menghadap layar komputer yang tidak bisa dilihat oleh rekannya. Di beberapa percobaan, mereka disuruh melakukan hal yang sama, dan di beberapa percobaan lain mereka diberi tahu untuk melakukan hal yang berbeda. Layar komputer itu menunjukkan gambar-gambar umum seperti gitar, jam, kayu dsb. Beberapa hari kemudian mereka diundang kembali dan diminta untuk mengingat kembali gambar yang mereka lihat. Burum menemukan bahwa partisipan yang diberi tahu rekan / orang di belakangnya melakukan hal yang berbeda lebih baik dalam mengingat gambar. Mereka membentuk ingatan yang lebih solid saat mereka diberi sugesti sedang melakukan tugas itu sendirian.

Hasilnya, penelitian Burum ini menjadi pendahuluan dan bagian dari paper “the coexperiencing mind” dan di presentasikan di Society for Personality and Social psychology Conference. Burum memberikan dua teori yang menjelaskan apa yang dirinya dan Gilbert temukan. Pertama berkaitan dengan konsep dari social psychology yang dikenal dengan “social loafing” yang berarti orang tidak akan berusaha maksimal jika mereka berpikir mereka dapat bergantung pada orang lain. Yang kedua adalah; membagi pengalaman dengan orang lain dapat menjadi distraksi, karena itu membuat kita mengeluarkan tenaga ekstra untuk memikirkan apa yang orang lain pikirkan dan bagaimana orang lain tersebut akan bereaksi, “orang cenderung secara otomatis memperhatikan apa yang orang lain pikirkan”. “kita multitasking saat kita bersama dengan orang lain dan tidak dapat secara benar mengalami sesuatu sendirian”.

Remaja, khususnya dengan kepribadian yang belum terbentuk sempurna, menunjukkan keuntungan dari menyendiri, karena menyendiri dapat memberikan waktu introspeksi—dan kebebasan atas kesadaran diri—yang mempermudah mereka mencari jati diri. Penelitian oleh Reed Larson, professor of human development di University of Illimois, membuat sebuah studi tahun 1990 yang hasilnya adalah: remaja lebih ingin menyendiri di kamar karena mereka ingin menjauh dari kumpulan orang. Larson juga menemukan pada umumnya, anak-anak di samplenya merasa lebih baik setelah meluangkan waktu untuk menyendiri dari pada sebelumnya. Dia menemukan bahwa anak yang menyisihkan 25 hingga 45 persen waktunya untuk menyendiri mempunyai emosi yang lebih positif selama seminggu dibandingkan anak yang sibuk dalam organisasi.

Paradoksnya adalah: menyendiri tidak selalu berarti dalam keadaan senang, Larson berpendapat “ada rebound effect pada kesendirian. Kesendirian seperti obat yang pahit” menyendiri dalam kapasitas yang berlebihan dapat merugikan dan merusak. Semua orang memiliki kapasitas menyendirinya, dan kapasitas itu tidak sama dengan orang lain. Orang harus merasa dia memutuskan untuk menyendiri, daripada terpaksa menyendiri karena suatu hal dan bukan karena keinginan pribadinya.


Banyak yang membuat kesalahan menafsirkan kesendirian, berpikir bahwa menjadi sendiri berarti kesepian, dan tidak sendiri berarti selalu bersama orang lain.  Tidak ada orang yang dapat terus-menerus bersosialisasi sepanjang hidupnya, dan menyendiri menjadi semacan charger untuk baterai sosial yang kita miliki agar dapat terus berinteraksi dengan orang lain. Jadi, jika interaksi sudah tidak berjalan dengan baik. contoh: konflik sosial, pertengkaran, galau, gagal move on, dsb. Cobalah untuk mengisi kembai baterai sosial yang kita punya dengan cara menyendiri, agar kelak dapat bersosialisasi lebih baik dan lepas dari ketergantungan akan interaksi sosial yang tidak menguntungkan.

Kamis, 19 Juni 2014

Memperlebar Jalan Mengurangi Kemacetan? Jakarta, Pikir Lagi



Kemacetan di mana-mana sudah semakin parah, kepadatan lalu lintas di kota-kota besar pun sudah tidak dapat dibendung lagi oleh jalan dan infrastruktur yang ada. Termasuk juga Jakarta. Ibu kota Indonesia ini mengalami peningkatan terhadap kepemilikan kendaraan bermotor dan penurunan ruang gerak kendaraan di jalan. Menurut grafik yang didapat, peningkatan kepemilikan mulai naik secara signifikan mulai dari tahun 2009 hingga sekarang, padahal jumlah jalan dan infrastrukturnya pun meningkat di tahun yang sama. Pertanyaan besarnya adalah, apakah penambahan jalan dapat menyelesaikan masalah kemacetan Jakarta dewasa ini?

Dibangunnya jalan tol menuju Jakarta di kota-kota satelit, fly over di daerah rawan macet, apakah menyelesaikan masalah kemacetan? Saya lebih memilih untuk menjawab tidak. Karena penyebab kemacetan di Jakarta menurut saya adalah jalan itu sendiri.


Konsep ini disebut Induced demand, para ekonom mendefinisikan induced demand saat meningkatnya supply terhadap suatu demand (dalam hal ini jalan) membuat orang lebih menginginkan hal tersebut. Walaupun traffic engineers sudah memperhatikan fenomena ini dari tahun 1960-an baru beberapa tahun belakangan lah social scientists bisa mengumpulkan data bahwa fenomena ini kerap kali terjadi saat membangun jalan-jalan baru. Hal ini menjadi fenomena yang terus-menerus terjadi dan menjadi penyumbang terbesar terhadap masalah kemacetan itu sendiri. Mengakar dan berakar seperti di Jakarta, laju kecepatan mencapai 20km per jam saja saat traffic jam.

Adakah solusi yang lebih baik daripada menambahkan jalan-jalan atau fly over baru untuk menanggulangi kemacetan Jakarta? Sebelum membicarakan solusi, mari membahas masalahnya. Kenapa hal ini bisa terjadi?

Pada tahun 2009, dua ekonom – matthew Turner dari Universitas Toronto dan Gilles Duranton dari Universitas Pennsylvania – memutuskan untuk membuat sebuah perbandingan antara jumlah jalan baru dan jalan tol yang dibuat di berbagai kota di Amerika pada tahun 1980 sampai 2000 dibandingkan dengan total jarak tempuh dalam kota tersebut pada tahun yang sama. Mereka menemukan bahwa terjadi one-to-one-relationship.

Jika sebuah kota meningkatkan kapasitas jalan sebesar 10 persen diantara tahun 1980 sampai 1990, jumlah jarak tempuh yang ditempuh kendaraan di dalam kota tersebut pun bertambah sebesar 10 persen. Dan jika kota yang sama meningkatkan kapasitas jalan sebesar 11 persen diantara tahun 1990 sampai 2000, jumlah jarak tempuh yang ditempuh kendaraan di dalam kota tersebut pun bertambah sebesar 11 persen. Dua variabel ini bergerak secara bersamaan pada angka yang tepat sama.

Sekarang, jika ragu korelasi dua variabel tersebut tidak menjadi penyebab langsungnya, berikan satu penjelasan yang memungkinkan traffic engineers dengan blue print peta jalan tahun 1947 di Amerika dapat memprediksi dengan pasti jumlah demand terhadap jalan untuk bertahun –tahun kedepan pada rentang 1980-2000 secara tepat.

Argumen kedua dari Turner dan Duranton adalah the fundamental law of road congestion: jalan yang baru akan melahirkan pengemudi baru, mengakibatkan intensitas jalan yang sama saja.

Secara nalar, saya dapat menangkap persamaannya: memperlebar jalan sama dengan mengganti pipa kecil dengan pipa yang lebih besar dengan harapan air dapat mengalir lebih lancar. Tapi, alih-alih demikian, pipa yang besar menarik jumlah air yang lebih banyak pula dan air tetap mengalir pada kapasitas yang sama. Pertanyaan selanjutnya adalah, darimana pengemudi-pengemudi baru ini berasal?

Jawabannya berkaitan dengan apa yang biasa dilakukan orang dijalan: bergerak. Pada harfiahnya kita memiliki perilaku alami suka bergerak, jika itu dikaitkan dengan kemampuan orang untuk berkendara atau melakukan perjalanan, dengan adanya fasilitas jalan baru, orang akan memiliki lebih banyak alasan untuk tinggal jauh dari kantor dan melakukan perjalanan lebih jauh dari sebelumnya. Hal ini juga menjelaskan kenapa kota-kota satelit dipenuhi penduduk baru (akan saya bahas pada kesempatan selanjutnya).

Tinggal jauh dari tempat kerja memaksa orang untuk bergerak dan melakukan perjalanan menuju kota Jakarta dari kota satelit tempat tinggalnya. Memfasilitasi jalan baru lebih mudah dengan tol dan berbagai macam infrastruktur mengakibatkan orang orang memiliki ide yang sama untuk berkendara lebih jauh ke kantor dengan anggapan akses jalan lebih mudah. Dan setali tiga rantai, hal ini juga akan menarik bisnis juga proses pengangkutan barang dan logistik melalui jalan untunk memenuhi kebutuhan kota satelit. Mengikis kapasitas jalan yang sebelumnya sudah ditambahkan. Membuat kepadatan jalan tetap konstan. Selama mengemudi di jalan tetap mudah dan murah, oang akan memiliki hasrat yang tak terbatas untuk menggunakannya.

Mungkin ada yang sempat berpikir, membangun transportasi umum dapat menyelesaikan masalah kemacetan ini. Ternyata salah. Commuter Line diperbanyak, busway ditambah koridornya, itu menyebabkan beberapa pengemudi jalan beralih ke transportasi umum. Namun, pengemudi jalan yang beralih itu dengan segera digantikan oleh penemudi yang lainnya. Membuat jalanan Jakarta tetap sama macetnya.

Yang menarik adalah, efek dari jalan ini berlaku terbalik juga. Saat beberapa kota memutuskan untuk menghapuskan beberapa jalan, masyarakat mengamuk dan mengancam pemboikotan tapi data menunjukkan tidak ada hal buruk yang terjadi. Jumlah pengemudi di jalanan dengan cepat menyesuaikan dan abrakadabra, seolah tidak ada masalah. Jalanan tetap dengan porsinya. Beberapa pengedara menyesuaikan dengan menggunakan angkutan umum dan yang lain tetap pada tempatnya.

restorasi Cheonggyecheo
Cerita sukses paling besar mungkin dialami oleh Seoul, Korea Selatan. Saat kota tersebut memutuskan untuk menghancurkan satu jalan tol yang termasuk jalan vital yang membawa 168,000 mobil per hari di Cheonggyecheo. Setelah menghancurkan jalan tersebut dan mengganti mobil-mobil dengan riverway, parkland, dan jalan-jalan yang lebih kecil. Kemacetan tidak bertambah parah dan banyak hal yang membaik, termasuk polusi yang berkurang.

Namun, teori ini juga memiliki keterbatasan. Menghancurkan jalan tol sepuluh jalur dan menggantinya dengan satu jalur akan membuat kemacetan seminggu suntuk tidak berhenti. Mengganti jalan tol sepuluh jalur dengan seratus jalur kecil juga dapat menghilangkan kemacetan. Tapi, apa mungkin? Kita hanya dapat menggunakan teori ini dengan data yang telah di observasi terlebih dahulu. Akhirnya semua analisis tersebut tiba pada bagian solusi, bagaimana caranya mengurangi kemacetan tanpa menambah jalan baru di kota Jakarta?

  1. Dengan memaksa congestion pricing terhadap jalan. Jakarta sudah benar dengan menerapkan 3 in 1. Itu membuat nilai jalan di jam-jam tertentu lebih berharga daripada jam lainnya. Atau dapat juga dengan menaikkan tarif tol pada waktu-waktu rawan macet. Jam 4-7 malam tol naik 25% misalnya. Sehingga orang yang tidak dapat membayar atau merasa rugi untuk membayar lebih mahal di jam-jam tertentu akan memilih untuk pulang atau pergi di jam yang lebih murah, entah sebelum atau sesudah jam rawan tersebut. atau jika merasa waktunya berharga tapi tetap merasa rugi untuk membayar lebih mahal, alternatifnya adalah bepergian dengan kendaraan umum seperti busway atau commuter line. Simple bukan? Semua kembali berdasarkan kepentingan menggunakan jalan. Tidak semua memiliki kepentingan yang sama pentingnya saat melintasi jalan, memanage kepentingan tersebut dapat mengurai kemacetan lebih baik. congestion pricing ini sudah sukses di London, Stockholm, dan tetangga kita Singapore. Dan banyak kota yang mulai melirik congestion pricing ini sebagai solusi kemacetan. Kenapa tidak dengan Jakarta?

  1. Jika congestion pricing dinilai tidak masuk akal, hal yang lebih logis dan memungkinkan adalah menaikkan harga parkir. Duranton menyatakan bahwa 30 persen pengendara di jalan adalah orang yang berputar-putar untuk mencari parkir. Menaikkan harga parkir saat saktu-waktu penting memaksa orang untuk pergi lebih cepat, membuat sirkulasi parkir lebih dinamis. San francisco melakukan hal ini pada tahun 2011 dan hasilnya meningkatkan pendapatan toko dan mall karena lebih banyak customer yang keluar masuk dan parkir dengan durasi yang tidak lama membuat sirkulasi jalan tetap dinamis. Mengurangi 30 persen orang yang mencari parkir tersebut.

Sumber:
the over head wire

Gambar:

Rabu, 18 Juni 2014

Teori Social Capital dan pengaruhnya pada hutan Baksil


Ingat Baksil? Babakan Siliwangi adalah wilayah hutan kota yang terletak di tengah kota Bandung. Karena lokasinya yang strategis, banyak developer real estate yang ingin mendirikan bangunan komersial di daerah Babakan Siliwangi. Hal tersebut menyulut banyak tentangan dari berbagai pihak yang menilai komersialisasi wilayah Babakan Siliwangi akan mengancam kelestariannya sebagai hutan kota dunia (World City Forest). Aktifis lingkungan, seniman, penggiat organisasi masyarakat, ahli hukum, dan kalangan lainnya menentang privatisasi dan komersialisasi ruang terbuka hijau di kawasan Babakan Siliwangi yang kian menyempit.

Pada akhirnya tangga 20 Mei 2013 warga kota yang tergabung dalam forum warga peduli Babakan Siliwangi (FWPBS) mengadakan arak-arakan dengan membawa seng  yang sebelumnya digunakan untuk menutupi Babakan Siliwangi. Lebih dari 7000 orang turut menandatangani petisi warga yang menentang privatisasi, komersialisasi, dan alih fungsi hutan kota itu dan pada 27 Juni 2013 pemerintah kota Bandung resmi mencabut izin mendirikan bangunan (IMB) yang diberikan pada PT. Esa Gemilang Indah (EGI), perusahaan swasta yang ingin mendirikan restoran di Babakan Siliwangi.

Peristiwa Babakan Siliwangi ini menarik, karena menjadi bukti bahwa Social Capital ada dan terjadi di masyarakat kita. Saat banyak dari kita tidak memiliki dana yang cukup untuk membuat sesuatu atau menentang sesuatu, kita memiliki Social Capital, yang bisa jadi sama kuatnya. Jika dipupuk dan digunakan secara benar. Sosiolog Pierre Bourdieu dan James Coleman mendefinisikan Social Capital sebagai Network-based ressource. Coleman menemukan bahwa social capital dapat terjadi dalam beberapa bentuk:

  1. Kepercayaan terhadap lingkungan sosial.
  2. Channel informasi
  3. Norma dan aturan perilaku
  4. Organisasi sosial atau organisasi yang didirikan dengan tujuan tertentu, seperti komunitas di lingkungan RT atau RW, dapat pula berupa komunitas atau organisasi dalam lingkup yang lebih luas seperti Regional, kota, nasional, Internasional.
Sedangkan merurut Robert Putnam, seorang pengamat politik yang memperlebar konsep social capital dan mendefinisikannya sebagai: fitur dari organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma, dan jaringan  yang dapat meningkatkan efisiensi dari organisasi sosial tersebut dengan cara  memfasilitasi aksi yang lebih terkordinir. Menurut Putnam, social capital dapat menguntungkan baik untuk individu ataupun masyarakat.

Aspek lain yang harus diketahui mengenai social capital adalah perbedaan antara bonding social capital dan bridging social capital:

Bonding social capital diartikan sebagai ikatan antara sesama anggota atau bagian dari komunitas yang sama satu dengan yang lain dengan menghargai perbedaan pada kelas sosial, ras atau etnis, kepercayaan atau karakteristik sosial lainnya. Seperti yang dilakukan banyak penggiat lingkungan, seni, dll dari berbagai komunitas yang menentang komersialisasi Babakan Siliwangi.

Sedangkan bridging social capital adalah hubungan yang dibuat oleh sesama anggota dari komunitas yang tidak sama dengan yang lain namun tetap menghargai identitas sosialnya masing-masing yang bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu yang beririsan. Seperti forum warga peduli Babakan Siliwangi (FWPBS)yang terdiri dari banyak komunitas dengan social capital yang berbeda-beda. Melakukan bridging untuk mencapai satu tujuan yang sama.

Beberapa keuntungan dari social capital:

  1. Exclusive Network based resource
Network based resource berisi channel informasi dimana ide-ide baru dimunculkan, lalu menyebar, dan tidak jarang diadopsi menjadi nilai-nilai untuk komunitas tersebut. Hal ini tergantung pada bagaimana bonding dan bridging social capitalnya. Seperti contoh Save Babakan Siliwangi, Network based resource dalam komunitas tersebut menyebarkan ide bagaimana pentingnya melindungi hutan kota Baksil, dan menjadi nilai-nilai yang mendukung pergerakannya.

  1. Social cohesion
Saat tinggal di masyarakat yang memiliki kesamanaan social capital, overall sense terhadap keamanan dan kepercayaan tersebut meningkat dan dapat mengurangi stress, dalam peristiwa Babakan Siliwangi, kini setahun setelah peristiwa tersebut Baksil menjadi ruang terbuka hijau yang aman dan nyaman untuk berkomunitas.

  1. Kemampuan dari satu bagian komunitas untuk membuat collective action yang lebih besar.
Pada peristiwa Babakan Siliwangi, kemampuan dari satu orang bagian komunitas dapat menjadi trigger terhadap aksi yang lebih besar, kolaborasi kota yang menghimpun dirinya dalam forum warga peduli Babakan Siliwangi (FWPBS) yang tentu saja terdiri dari berbagai macam karakter orang dan social capital yang berbeda. Namun dapat bersatu berkat bridging social capital yang memiliki tujuan sama – melindungi hutan kota dunia.

  1. Informal Social Control
Paling mudah dideskripsikan sebagai “lingkungan perumahan”. Yaitu kondisi dimana tetangga atau bagian dari komunitas merasa memiliki tanggung jawab untuk perduli terhadap orang lain, dalam komunitas sosialnya sama seperti perduli terhadap keluarganya sendiri. Kini Baksil yang menjadi ruang terbuka hijau dan juga hutan kota dunia telah menjadi semacam ruangan berkarya bagi masyarakatnya. Sering ada pagelaran atau acara-acara seperti helarfest, light orchestra Babakan Siliwangi yang diselenggarakan berdasarkan inisiasi banyak komunitas di kota Bandung. Berbagai komunitas saling memperhatikan dan menjaga agar Babakan Siliwangi tetap menjadi tempat yang nyaman dan tidak terjadi komersialisasi kembali.

Baksil Sekarang
Kesimpulannya, Penyelamatan Hutan Babakan Siliwangi adalah contoh nyata dari digunakannya Social Capital dalam skala kota, dimana beberapa tokoh dan komunitas yang merasa berkepentingan untuk menjaga hutan Babakakn Siliwangi menggunakan kekuatan social capitalnya untuk melakukan bonding dengan cara melakukan sharing terhadap ide-ide dan kepercayaan bahwa hutan Babakan Siliwangi harus dilindungi dan melakukakn bridging untuk menghimpun social capital yang lebih besar dari komunitas lain yang memiliki kepercayaan dan kepentingan sama atau beririsan. Sehingga pada akhirnya berhasil menghimpun sekitar 7000 orang untuk bersama-sama menentang komersialisasi dan privatisasi hutan Baksil. Selain gerakan tersebut, efek dari social capital yang berlangsung hingga kini adalah informal social control yang diwujudkan dalam kesinambungan dan konsistensi forum warga peduli Babakan Siliwangi (FWPBS) untuk menjaga hutannya. Dengan membuat tree walk, dan sering mengadakan acara di daerah hutan Babakan siliwangi. Bahkan ada akun twitter khusus (@Lebak_Siliwangi) dengan hashtag #UlinBaksil yang menjadi jembatan bagi acara-acara di Babakan Siliwangi tersebut.


Terakhir dari saya, Kota yang kondusif dan nyaman bagi perkembangan komunitas dapat menjadi inkubator yang baik bagi tumbuhnya social capital.



Source:
Savebabakansiliwangi
Bloomingrock.com
Islanpress.org

Photo credit:
rumahrizqi.wordpress.com
www.infobdg.com