Selasa, 24 Juni 2014

The Science of Loneliness


B: “Sendiri itu menyenangkan ya, tapi perlu berinteraksi juga untuk menjaga kewarasan”

A: “Tapi, sendiri itu memang menyenangkan”

B: “yup, Bukan hanya soal hubungan. Tapi secara harfiah sendiri itu menentramkan, menghanyutkan. Memabukkan dan parahnya adiktif”

B: “Membiarkan diri kita seperti ngarai dengan sumbatan pada arusnya. Kesendirian meluluhkan sumbatannya. Menjernihkan”

A: “Ngga begitu setuju sih”


Tanggapan tidak setuju itu akhirnya membawa saya pada pencarian. Untuk membuktikan bahwa kesepian memang mempunyai dampak positif. Membantah ilmu psikologi lama yang sering memvonis bahwa kesendirian seringkali berdampak buruk, menjadi pemicu atau penyebab social anxiety, boredom, alienation atau apapaun itu bentuknya.

Kita mendengarnya hampir setiap hari, bahwa manusia adalah mahluk sosial. Kita harus meluangkan waktu untuk berinteraksi dengan sesama untuk dapat bahagia dan lebih baik. Menikmati waktu sendiri dalam kontrasnya juga ternyata memiliki dampak positif jika dilakukan dengan cara yang benar. Beberapa penelitian baru menyarankan kita untuk menyisihkan waktu untuk sendiri. Bahkan untuk membangun kepribadian, berpikir kreatif dan fokus membutuhkan waktu sendiri tanpa gangguan. Bahkan ada riset yang menyarankan untuk memangkas waktu dan meluangkan kesendirian untuk dapat menjadi manusia sosial yang lebih baik.

Study di harvard percaya bahwa orang yang mengalami atau belajar sesuatu sendirian membentuk ingatan yang lebih kuat dan akurat. selain itu, kesendirian membuat orang lebih mampu berempati kepada yang lain. Saat semua orang setuju terlalu banyak kesendirian pada awal tahun hidup bisa tidak sehat, kesendirian dengan jumlah yang tepat justru dapat membantu anak memperbaiki mood dan mendapat nilai lebih baik di sekolah.

“terlalu banyak cultural anxiety tentang isolasi (kesendirian) di negara kita yang seringkali membuat kita gagal mengapresiasi keuntungan dari menyendiri” ucap Eric Klinberg, Sosiolog di New York University yang membuat buku “alone in America”. Dia juga berpendapat bahwa “ada sesuatu tentang kesendirian yang membebaskan orang melakukan apa yang dia inginkan. Mereka dapat membuat sebuah kontrol terhadap bagaimana mereka meluangkan waktunya dan merasakan kebebasan”

Mengetahui apa itu menyendiri dan bagaimana menyendiri mempengaruhi afeksi kita dan perasaan kita kini menjadi krusial. Masyarakat kini terhubung secara permanen siang dan malam melalui handphone dan komputer. Di jaman yang bahkan orang tidak lebih jauh dari pandangan mata pada sms, whatsapp, line, bbm, twitter, facebook, telegram messenger, skype, we chat, kakao talk, apa lagi yang belum saya sebut? Itu membuat kesendirian dan kebersamaan menjadi bias. Padahal keuntungan menyendiri sudah semakin jelas. Kesendirian sudah lama dihubungkan dengan kreatifitas, spiritual dan intelektual. Penyair James Russell Lowell mengidentifikasinya sebagai “needful to the imagination;” di tahun 1988 pada buku “Solitude: A Return to the self,” psikiater inggris Anthony Storr bahkan melibatkan Beethoven, Kafta, dan Newton sebagai contoh penyendiri yang jenius.

Tapi apa yang sebenarnya terjadi dalam pikiran kita saat sendiri? Semakin banyak pemahaman mengenai kesendirian. Namun pemahaman bagaimana “menyendiri” itu bekerja sejujurnya masih abstrak. Dan psikologi modern—dimana kita berharap dapat memberi jawaban—justru menganggap kesendirian sebagai sebuah masalah daripada solusi. Anggapan psikologi modern itu ditemukan oleh Christopher long pada tahun 1999. Pengukuran melalui survey tahun 2003 pada 320 mahasiswa Umass (University of Massachusetts) membawa Long dan timnya pada pemahaman bahwa mahasiswa yang lebih sering menyendiri membawa lebih banyak dampak baik dari pada dampak yang buruk. Dan pendekatan psikologi konvensional terhadap kesendirian—an “almost exclusive emphasis on loneliness”—merepresentasikan pandangan sempit mengenai kesendirian tersebut. “menyendiri tidak selalu buruk” ujar Long. “ada beberapa penelitian pada solitary confinement dan sensory deprivation dan astronot dan orang-orang di Antartika—dan yang ingin kami bilang adalah, lihat, ini bukan hanya soal kesendirian!”

Sekarang, banyak researchers yang berusaha menjelaskan Gap ini. Profesor Harvard Daniel Gilbert, leader of the world positive psychology baru-baru ini melihat dan tertarik pada study yang meyakini bahwa memory terbentuk lebih efektif saat orang berpikir mereka mengalami sesuatu secara individual. Study ini dipimpin oleh Bethany Burum, dan dimulai dengan eksperimen sederhana: Burum menempatkan dua partisipan dalam ruangan dan membiarkan mereka saling mengenal untuk beberapa menit. Mereka lalu duduk saling bertolak punggung, masing-masing menghadap layar komputer yang tidak bisa dilihat oleh rekannya. Di beberapa percobaan, mereka disuruh melakukan hal yang sama, dan di beberapa percobaan lain mereka diberi tahu untuk melakukan hal yang berbeda. Layar komputer itu menunjukkan gambar-gambar umum seperti gitar, jam, kayu dsb. Beberapa hari kemudian mereka diundang kembali dan diminta untuk mengingat kembali gambar yang mereka lihat. Burum menemukan bahwa partisipan yang diberi tahu rekan / orang di belakangnya melakukan hal yang berbeda lebih baik dalam mengingat gambar. Mereka membentuk ingatan yang lebih solid saat mereka diberi sugesti sedang melakukan tugas itu sendirian.

Hasilnya, penelitian Burum ini menjadi pendahuluan dan bagian dari paper “the coexperiencing mind” dan di presentasikan di Society for Personality and Social psychology Conference. Burum memberikan dua teori yang menjelaskan apa yang dirinya dan Gilbert temukan. Pertama berkaitan dengan konsep dari social psychology yang dikenal dengan “social loafing” yang berarti orang tidak akan berusaha maksimal jika mereka berpikir mereka dapat bergantung pada orang lain. Yang kedua adalah; membagi pengalaman dengan orang lain dapat menjadi distraksi, karena itu membuat kita mengeluarkan tenaga ekstra untuk memikirkan apa yang orang lain pikirkan dan bagaimana orang lain tersebut akan bereaksi, “orang cenderung secara otomatis memperhatikan apa yang orang lain pikirkan”. “kita multitasking saat kita bersama dengan orang lain dan tidak dapat secara benar mengalami sesuatu sendirian”.

Remaja, khususnya dengan kepribadian yang belum terbentuk sempurna, menunjukkan keuntungan dari menyendiri, karena menyendiri dapat memberikan waktu introspeksi—dan kebebasan atas kesadaran diri—yang mempermudah mereka mencari jati diri. Penelitian oleh Reed Larson, professor of human development di University of Illimois, membuat sebuah studi tahun 1990 yang hasilnya adalah: remaja lebih ingin menyendiri di kamar karena mereka ingin menjauh dari kumpulan orang. Larson juga menemukan pada umumnya, anak-anak di samplenya merasa lebih baik setelah meluangkan waktu untuk menyendiri dari pada sebelumnya. Dia menemukan bahwa anak yang menyisihkan 25 hingga 45 persen waktunya untuk menyendiri mempunyai emosi yang lebih positif selama seminggu dibandingkan anak yang sibuk dalam organisasi.

Paradoksnya adalah: menyendiri tidak selalu berarti dalam keadaan senang, Larson berpendapat “ada rebound effect pada kesendirian. Kesendirian seperti obat yang pahit” menyendiri dalam kapasitas yang berlebihan dapat merugikan dan merusak. Semua orang memiliki kapasitas menyendirinya, dan kapasitas itu tidak sama dengan orang lain. Orang harus merasa dia memutuskan untuk menyendiri, daripada terpaksa menyendiri karena suatu hal dan bukan karena keinginan pribadinya.


Banyak yang membuat kesalahan menafsirkan kesendirian, berpikir bahwa menjadi sendiri berarti kesepian, dan tidak sendiri berarti selalu bersama orang lain.  Tidak ada orang yang dapat terus-menerus bersosialisasi sepanjang hidupnya, dan menyendiri menjadi semacan charger untuk baterai sosial yang kita miliki agar dapat terus berinteraksi dengan orang lain. Jadi, jika interaksi sudah tidak berjalan dengan baik. contoh: konflik sosial, pertengkaran, galau, gagal move on, dsb. Cobalah untuk mengisi kembai baterai sosial yang kita punya dengan cara menyendiri, agar kelak dapat bersosialisasi lebih baik dan lepas dari ketergantungan akan interaksi sosial yang tidak menguntungkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar