Rabu, 18 Juni 2014

Teori Social Capital dan pengaruhnya pada hutan Baksil


Ingat Baksil? Babakan Siliwangi adalah wilayah hutan kota yang terletak di tengah kota Bandung. Karena lokasinya yang strategis, banyak developer real estate yang ingin mendirikan bangunan komersial di daerah Babakan Siliwangi. Hal tersebut menyulut banyak tentangan dari berbagai pihak yang menilai komersialisasi wilayah Babakan Siliwangi akan mengancam kelestariannya sebagai hutan kota dunia (World City Forest). Aktifis lingkungan, seniman, penggiat organisasi masyarakat, ahli hukum, dan kalangan lainnya menentang privatisasi dan komersialisasi ruang terbuka hijau di kawasan Babakan Siliwangi yang kian menyempit.

Pada akhirnya tangga 20 Mei 2013 warga kota yang tergabung dalam forum warga peduli Babakan Siliwangi (FWPBS) mengadakan arak-arakan dengan membawa seng  yang sebelumnya digunakan untuk menutupi Babakan Siliwangi. Lebih dari 7000 orang turut menandatangani petisi warga yang menentang privatisasi, komersialisasi, dan alih fungsi hutan kota itu dan pada 27 Juni 2013 pemerintah kota Bandung resmi mencabut izin mendirikan bangunan (IMB) yang diberikan pada PT. Esa Gemilang Indah (EGI), perusahaan swasta yang ingin mendirikan restoran di Babakan Siliwangi.

Peristiwa Babakan Siliwangi ini menarik, karena menjadi bukti bahwa Social Capital ada dan terjadi di masyarakat kita. Saat banyak dari kita tidak memiliki dana yang cukup untuk membuat sesuatu atau menentang sesuatu, kita memiliki Social Capital, yang bisa jadi sama kuatnya. Jika dipupuk dan digunakan secara benar. Sosiolog Pierre Bourdieu dan James Coleman mendefinisikan Social Capital sebagai Network-based ressource. Coleman menemukan bahwa social capital dapat terjadi dalam beberapa bentuk:

  1. Kepercayaan terhadap lingkungan sosial.
  2. Channel informasi
  3. Norma dan aturan perilaku
  4. Organisasi sosial atau organisasi yang didirikan dengan tujuan tertentu, seperti komunitas di lingkungan RT atau RW, dapat pula berupa komunitas atau organisasi dalam lingkup yang lebih luas seperti Regional, kota, nasional, Internasional.
Sedangkan merurut Robert Putnam, seorang pengamat politik yang memperlebar konsep social capital dan mendefinisikannya sebagai: fitur dari organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma, dan jaringan  yang dapat meningkatkan efisiensi dari organisasi sosial tersebut dengan cara  memfasilitasi aksi yang lebih terkordinir. Menurut Putnam, social capital dapat menguntungkan baik untuk individu ataupun masyarakat.

Aspek lain yang harus diketahui mengenai social capital adalah perbedaan antara bonding social capital dan bridging social capital:

Bonding social capital diartikan sebagai ikatan antara sesama anggota atau bagian dari komunitas yang sama satu dengan yang lain dengan menghargai perbedaan pada kelas sosial, ras atau etnis, kepercayaan atau karakteristik sosial lainnya. Seperti yang dilakukan banyak penggiat lingkungan, seni, dll dari berbagai komunitas yang menentang komersialisasi Babakan Siliwangi.

Sedangkan bridging social capital adalah hubungan yang dibuat oleh sesama anggota dari komunitas yang tidak sama dengan yang lain namun tetap menghargai identitas sosialnya masing-masing yang bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu yang beririsan. Seperti forum warga peduli Babakan Siliwangi (FWPBS)yang terdiri dari banyak komunitas dengan social capital yang berbeda-beda. Melakukan bridging untuk mencapai satu tujuan yang sama.

Beberapa keuntungan dari social capital:

  1. Exclusive Network based resource
Network based resource berisi channel informasi dimana ide-ide baru dimunculkan, lalu menyebar, dan tidak jarang diadopsi menjadi nilai-nilai untuk komunitas tersebut. Hal ini tergantung pada bagaimana bonding dan bridging social capitalnya. Seperti contoh Save Babakan Siliwangi, Network based resource dalam komunitas tersebut menyebarkan ide bagaimana pentingnya melindungi hutan kota Baksil, dan menjadi nilai-nilai yang mendukung pergerakannya.

  1. Social cohesion
Saat tinggal di masyarakat yang memiliki kesamanaan social capital, overall sense terhadap keamanan dan kepercayaan tersebut meningkat dan dapat mengurangi stress, dalam peristiwa Babakan Siliwangi, kini setahun setelah peristiwa tersebut Baksil menjadi ruang terbuka hijau yang aman dan nyaman untuk berkomunitas.

  1. Kemampuan dari satu bagian komunitas untuk membuat collective action yang lebih besar.
Pada peristiwa Babakan Siliwangi, kemampuan dari satu orang bagian komunitas dapat menjadi trigger terhadap aksi yang lebih besar, kolaborasi kota yang menghimpun dirinya dalam forum warga peduli Babakan Siliwangi (FWPBS) yang tentu saja terdiri dari berbagai macam karakter orang dan social capital yang berbeda. Namun dapat bersatu berkat bridging social capital yang memiliki tujuan sama – melindungi hutan kota dunia.

  1. Informal Social Control
Paling mudah dideskripsikan sebagai “lingkungan perumahan”. Yaitu kondisi dimana tetangga atau bagian dari komunitas merasa memiliki tanggung jawab untuk perduli terhadap orang lain, dalam komunitas sosialnya sama seperti perduli terhadap keluarganya sendiri. Kini Baksil yang menjadi ruang terbuka hijau dan juga hutan kota dunia telah menjadi semacam ruangan berkarya bagi masyarakatnya. Sering ada pagelaran atau acara-acara seperti helarfest, light orchestra Babakan Siliwangi yang diselenggarakan berdasarkan inisiasi banyak komunitas di kota Bandung. Berbagai komunitas saling memperhatikan dan menjaga agar Babakan Siliwangi tetap menjadi tempat yang nyaman dan tidak terjadi komersialisasi kembali.

Baksil Sekarang
Kesimpulannya, Penyelamatan Hutan Babakan Siliwangi adalah contoh nyata dari digunakannya Social Capital dalam skala kota, dimana beberapa tokoh dan komunitas yang merasa berkepentingan untuk menjaga hutan Babakakn Siliwangi menggunakan kekuatan social capitalnya untuk melakukan bonding dengan cara melakukan sharing terhadap ide-ide dan kepercayaan bahwa hutan Babakan Siliwangi harus dilindungi dan melakukakn bridging untuk menghimpun social capital yang lebih besar dari komunitas lain yang memiliki kepercayaan dan kepentingan sama atau beririsan. Sehingga pada akhirnya berhasil menghimpun sekitar 7000 orang untuk bersama-sama menentang komersialisasi dan privatisasi hutan Baksil. Selain gerakan tersebut, efek dari social capital yang berlangsung hingga kini adalah informal social control yang diwujudkan dalam kesinambungan dan konsistensi forum warga peduli Babakan Siliwangi (FWPBS) untuk menjaga hutannya. Dengan membuat tree walk, dan sering mengadakan acara di daerah hutan Babakan siliwangi. Bahkan ada akun twitter khusus (@Lebak_Siliwangi) dengan hashtag #UlinBaksil yang menjadi jembatan bagi acara-acara di Babakan Siliwangi tersebut.


Terakhir dari saya, Kota yang kondusif dan nyaman bagi perkembangan komunitas dapat menjadi inkubator yang baik bagi tumbuhnya social capital.



Source:
Savebabakansiliwangi
Bloomingrock.com
Islanpress.org

Photo credit:
rumahrizqi.wordpress.com
www.infobdg.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar