B: “Sendiri itu menyenangkan ya, tapi perlu berinteraksi juga untuk
menjaga kewarasan”
A: “Tapi, sendiri itu memang menyenangkan”
B: “yup, Bukan hanya soal hubungan. Tapi secara harfiah sendiri itu
menentramkan, menghanyutkan. Memabukkan dan parahnya adiktif”
B: “Membiarkan diri kita seperti ngarai dengan sumbatan pada arusnya. Kesendirian
meluluhkan sumbatannya. Menjernihkan”
A: “Ngga begitu setuju sih”
Tanggapan tidak setuju itu akhirnya membawa saya pada pencarian. Untuk membuktikan
bahwa kesepian memang mempunyai dampak positif. Membantah ilmu psikologi lama
yang sering memvonis bahwa kesendirian seringkali berdampak buruk, menjadi
pemicu atau penyebab social anxiety, boredom, alienation atau apapaun itu
bentuknya.
Kita mendengarnya hampir setiap hari, bahwa manusia adalah mahluk
sosial. Kita harus meluangkan waktu untuk berinteraksi dengan sesama untuk
dapat bahagia dan lebih baik. Menikmati waktu sendiri dalam kontrasnya juga
ternyata memiliki dampak positif jika dilakukan dengan cara yang benar. Beberapa
penelitian baru menyarankan kita untuk menyisihkan waktu untuk sendiri. Bahkan untuk
membangun kepribadian, berpikir kreatif dan fokus membutuhkan waktu sendiri
tanpa gangguan. Bahkan ada riset yang menyarankan untuk memangkas waktu dan
meluangkan kesendirian untuk dapat menjadi manusia sosial yang lebih baik.
Study di harvard percaya bahwa orang yang mengalami atau belajar sesuatu
sendirian membentuk ingatan yang lebih kuat dan akurat. selain itu, kesendirian
membuat orang lebih mampu berempati kepada yang lain. Saat semua orang setuju
terlalu banyak kesendirian pada awal tahun hidup bisa tidak sehat, kesendirian
dengan jumlah yang tepat justru dapat membantu anak memperbaiki mood dan
mendapat nilai lebih baik di sekolah.
“terlalu banyak cultural anxiety tentang isolasi (kesendirian) di negara
kita yang seringkali membuat kita gagal mengapresiasi keuntungan dari menyendiri”
ucap Eric Klinberg, Sosiolog di New York University yang membuat buku “alone in
America”. Dia juga berpendapat bahwa “ada sesuatu tentang kesendirian yang
membebaskan orang melakukan apa yang dia inginkan. Mereka dapat membuat sebuah
kontrol terhadap bagaimana mereka meluangkan waktunya dan merasakan kebebasan”
Mengetahui apa itu menyendiri dan bagaimana menyendiri mempengaruhi
afeksi kita dan perasaan kita kini menjadi krusial. Masyarakat kini terhubung
secara permanen siang dan malam melalui handphone dan komputer. Di jaman yang
bahkan orang tidak lebih jauh dari pandangan mata pada sms, whatsapp, line,
bbm, twitter, facebook, telegram messenger, skype, we chat, kakao talk, apa
lagi yang belum saya sebut? Itu membuat kesendirian dan kebersamaan menjadi
bias. Padahal keuntungan menyendiri sudah semakin jelas. Kesendirian sudah lama
dihubungkan dengan kreatifitas, spiritual dan intelektual. Penyair James
Russell Lowell mengidentifikasinya sebagai “needful to the imagination;” di
tahun 1988 pada buku “Solitude: A Return to the self,” psikiater inggris
Anthony Storr bahkan melibatkan Beethoven, Kafta, dan Newton sebagai contoh
penyendiri yang jenius.
Tapi apa yang sebenarnya terjadi dalam pikiran kita saat sendiri? Semakin
banyak pemahaman mengenai kesendirian. Namun pemahaman bagaimana “menyendiri” itu
bekerja sejujurnya masih abstrak. Dan psikologi modern—dimana kita berharap
dapat memberi jawaban—justru menganggap kesendirian sebagai sebuah masalah
daripada solusi. Anggapan psikologi modern itu ditemukan oleh Christopher long
pada tahun 1999. Pengukuran melalui survey tahun 2003 pada 320 mahasiswa Umass (University
of Massachusetts) membawa Long dan timnya pada pemahaman bahwa mahasiswa yang lebih
sering menyendiri membawa lebih banyak dampak baik dari pada dampak yang buruk.
Dan pendekatan psikologi konvensional terhadap kesendirian—an “almost exclusive
emphasis on loneliness”—merepresentasikan pandangan sempit mengenai kesendirian
tersebut. “menyendiri tidak selalu buruk” ujar Long. “ada beberapa penelitian
pada solitary confinement dan sensory deprivation dan astronot dan orang-orang
di Antartika—dan yang ingin kami bilang adalah, lihat, ini bukan hanya soal kesendirian!”
Sekarang, banyak researchers yang berusaha menjelaskan Gap ini. Profesor
Harvard Daniel Gilbert, leader of the world positive psychology baru-baru ini
melihat dan tertarik pada study yang meyakini bahwa memory terbentuk lebih
efektif saat orang berpikir mereka mengalami sesuatu secara individual. Study ini
dipimpin oleh Bethany Burum, dan dimulai dengan eksperimen sederhana: Burum
menempatkan dua partisipan dalam ruangan dan membiarkan mereka saling mengenal
untuk beberapa menit. Mereka lalu duduk saling bertolak punggung, masing-masing
menghadap layar komputer yang tidak bisa dilihat oleh rekannya. Di beberapa
percobaan, mereka disuruh melakukan hal yang sama, dan di beberapa percobaan
lain mereka diberi tahu untuk melakukan hal yang berbeda. Layar komputer itu
menunjukkan gambar-gambar umum seperti gitar, jam, kayu dsb. Beberapa hari
kemudian mereka diundang kembali dan diminta untuk mengingat kembali gambar
yang mereka lihat. Burum menemukan bahwa partisipan yang diberi tahu rekan /
orang di belakangnya melakukan hal yang berbeda lebih baik dalam mengingat
gambar. Mereka membentuk ingatan yang lebih solid saat mereka diberi sugesti
sedang melakukan tugas itu sendirian.
Hasilnya, penelitian Burum ini menjadi pendahuluan dan bagian dari paper
“the coexperiencing mind” dan di presentasikan di Society for Personality and Social
psychology Conference. Burum memberikan dua teori yang menjelaskan apa yang
dirinya dan Gilbert temukan. Pertama berkaitan dengan konsep dari social
psychology yang dikenal dengan “social loafing” yang berarti orang tidak akan
berusaha maksimal jika mereka berpikir mereka dapat bergantung pada orang lain.
Yang kedua adalah; membagi pengalaman dengan orang lain dapat menjadi
distraksi, karena itu membuat kita mengeluarkan tenaga ekstra untuk memikirkan
apa yang orang lain pikirkan dan bagaimana orang lain tersebut akan bereaksi, “orang
cenderung secara otomatis memperhatikan apa yang orang lain pikirkan”. “kita
multitasking saat kita bersama dengan orang lain dan tidak dapat secara benar mengalami
sesuatu sendirian”.
Remaja, khususnya dengan kepribadian yang belum terbentuk sempurna,
menunjukkan keuntungan dari menyendiri, karena menyendiri dapat memberikan
waktu introspeksi—dan kebebasan atas kesadaran diri—yang mempermudah mereka
mencari jati diri. Penelitian oleh Reed Larson, professor of human development
di University of Illimois, membuat sebuah studi tahun 1990 yang hasilnya adalah:
remaja lebih ingin menyendiri di kamar karena mereka ingin menjauh dari
kumpulan orang. Larson juga menemukan pada umumnya, anak-anak di samplenya
merasa lebih baik setelah meluangkan waktu untuk menyendiri dari pada
sebelumnya. Dia menemukan bahwa anak yang menyisihkan 25 hingga 45 persen
waktunya untuk menyendiri mempunyai emosi yang lebih positif selama seminggu
dibandingkan anak yang sibuk dalam organisasi.
Paradoksnya adalah: menyendiri tidak selalu berarti dalam keadaan
senang, Larson berpendapat “ada rebound effect pada kesendirian. Kesendirian seperti
obat yang pahit” menyendiri dalam kapasitas yang berlebihan dapat merugikan dan
merusak. Semua orang memiliki kapasitas menyendirinya, dan kapasitas itu tidak
sama dengan orang lain. Orang harus merasa dia memutuskan untuk menyendiri,
daripada terpaksa menyendiri karena suatu hal dan bukan karena keinginan
pribadinya.
Banyak yang membuat kesalahan menafsirkan kesendirian, berpikir bahwa
menjadi sendiri berarti kesepian, dan tidak sendiri berarti selalu bersama
orang lain. Tidak ada orang yang dapat
terus-menerus bersosialisasi sepanjang hidupnya, dan menyendiri menjadi semacan
charger untuk baterai sosial yang kita miliki agar dapat terus berinteraksi
dengan orang lain. Jadi, jika interaksi sudah tidak berjalan dengan baik. contoh:
konflik sosial, pertengkaran, galau, gagal move on, dsb. Cobalah untuk mengisi
kembai baterai sosial yang kita punya dengan cara menyendiri, agar kelak dapat
bersosialisasi lebih baik dan lepas dari ketergantungan akan interaksi sosial
yang tidak menguntungkan.